BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Ada banyak hal yang perlu diketahui sebagai
cendekiawan muslim dan muslimah dalam menggeluti bidang-bidang keagamaan
terutama yang berkaitan dengan istinbat hukum (penetapan hukum)
bagaimana dan kapan hukum itu bisa dianggap sebagai hukum yang dapat
diterima..Urgensi ilmu-ilmu Islam dalam kehidupan sehari-hari membuat hati
penulis sadar akan pentingnya pengadaan literatur-literatur yang sekiranya
dapat membantu untuk memberikan solusi-solusi dari berbagai permasalahan yang
dihadapi agama Islam di era globalisasi seperti yang dirasakan pada saat ini.
Dalam kaitannyan dengan kalimat diatas, penulis
akan mencoba untuk menguraikan salah satu dari tema al-jarh wa al-ta’dil
atau pembahasan tentang ketercelaan dan keterpujian seorang perawi dalam
meriwayatkan hadis Rasulullah. Meskipun banyak literatur yang membahas tentang
masalah ini tapi perlu juga ada usaha untuk menggabungkan berbagai literatur
yang membahas tentang ilmu al-jarh wa al-ta’dil dalam sebuah makalah
yang amat singkat dan jauh dari kesempurnaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar
diperbolehkannya Al- jarh wa Al-ta’dil.
Perlu diketahui bersama bahwa ilmu ini tumbuh
bersama-sama dengan tumbuh periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui
hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan perawii-perawinya yang mana
pada akhiranya ahlu ilmi menetapkan kebenaran dan kedustaan perawi, hingga kita
semua dapat membedakan mana yang harus diterima dan mana yang ditolak.
Tapi, sebelum ilmu ini makin meluas dikalangan
para cendekiawan islam telah terjadi polemik yang mana sampai sekarang masih
belum menemukan titik temu antara dua kubu yang dimaksud. Diantara mereka ada
yang mengatakan bahwa existensi ilmu Al- jarh wa Al-ta’dil dalam ilmu hadis itu
harus dihapuskan karena hal itu adalah suatu langkah untuk menentang ayat Allah
Swt, lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa ilmu ini mengandung unsur gibah dan
madah yang mana keduanya adalah hal yang sangat diwanti-wanti oleh agama dengan
dalil bahwa Allah Swt berfirman;
....ولا
يغتب بعضكم بعضا....)
Artinya: “bahwa janganlah
sekali-kali kamu menggibah sebagian diantara kamu sekalian”
Dengan dasar inilah mereka mengharamkan
pengadaan ilmu Al- jarh wa Al-ta’dil.
Sedangkan mereka yang mengakui urgensi ilmu Al-
jarh wa Al-ta’dil membantah bahwasanya gibah itu memang haram tapi perlu
meninjau bahwa apakah memang betul gibah itu semuanya haram? Analisah
mengatakan bahwa ilmu ini bukanlah termasuk gibah yang diharamkan karena
menurut kami hal ini mengacu kepada hal yang bisa menolong umat islam dari
tindakan yang membabi buta. Berbicara masalah dalil dalam Al-Quran, kami juga
punya dasar“ujar mereka” yang mana Allah berfirman dalam Al-Quran :
ياأيها
الذين امنو ا ان جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا......
Artinya: “hai orang-orang yang beriman
jikalau datang orang fasiq membawa berita maka perjelaslah……”
Demikianlah orang yang berpegang teguh dalam
merealisasikan ilmu Al- jarh wa Al-ta’dil dalam memberikan alasan-alasan yang
sekiranya dapat dimengerti oleh kaum muslimin.
Imam An-Nawawi dalam muqaddimah syarah muslim
mengatakan bahwa telah sepakat para ulama membolehkan kita mencacat perawi
lantaran hal itu diperlukan untuk memelihara agama. Mayoritas ulama mengatakan
bahwa ilmu ini tidaklah dipandang sebagai umpat bahkan dipandang sebagai
nasehat yang harus diaplikasikan demi kepentingan agama kita sendiri. [1]
B. Kegiatan Al-Jarh Wat-Ta’dil Dalam Penelitian
Rijalu – Hadits Bukanlah Kegiatan Gibah, Melainkan Kegiatan Ijtihad.
1.
Argumen yang
mendasari bahwa kegiatan al-jarh wa-ta’dil bukan gibah.
Para
ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil,
dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang;
diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
a.
Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : “(Dan)
itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR.
Bukhari).
b.
Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang
menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan
tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin
tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).Dua hadits di atas merupakan
dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah
satunya berdasarkan hadits :
c.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin
Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad
dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
2.
Kegiatan
al-jarh wat-ta’dil termasuk kegiatan ijtihad yang diperintaahkan agama
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh
wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan
sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga
diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama
lebih utama daripada masalah hak dan harta.
3.
Argumen
– argument yang mendasari Al-Jarh wat-Ta’dil
Al-Jarh
wat-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat,
tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang
diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan
ada pada umatku yang terak hir nanti orang-orang yang menceritakan hadits
kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian
mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka”
(Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari
Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan
Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang
yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya
tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya
tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Abu
Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia
riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa
yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah
kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari
orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid
banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).
Diketahuinya
hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’
yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan
para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : “(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang
dipalsukan ini?”. Dia berkata,“Para ulama yang berpengalaman yang akan
menghadapinya”.[2]
C.
Syarat –
Syarat Yang Melakukan Al-Jarh dan At-Ta’dil
Maka
penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk
agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti
keadaan para perawi dan keadilan mereka.[3]Bagi
yang berstatus sebagai mu’addil dan mujarrih diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut
1.
Berilmu
pengetahuan.Adapun yang dimaksudkan dengan berilmu pengetahuan yaitu menguasai
berbagai macam disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya yang berkonotasi ke dalam
materi hadis. Karena mustahil bagi orang yang mentajrih atau menta’dil itu bisa
memberikan argumen-argumen atas tuduhannya jikalau tidak ada ilmu yang
dimiliki. Disamping itu, ilmu ini butuh penalaran yang sangat tinggi sehingga
ilmu ini tidak menerima riwayat dari orang yang kurang cerdas dalam berfikir.
2.
Taqwa.Jadi,
bagi orang yang mentajrih atau menta’dil harus dalam keadaan takut oleh Allah
karena hal ini akan sangat berdampak negatif jika seorang penjarah atau
penta’dil tidak meyakini existensi sang Maha pencipta.
3.
Wara’.Adapun
yang dimaksud dengan wara’ yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat atau
perbuatan maksiat, hal-hal yang syubhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat.
Sungguh tidak masuk dalam kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan
perbuatan yang dimurkahi oleh Allah.
4.
Jujur.Ini
adalah sifat yang paling urgen yang mana orang harus berlaku jujur dalam
memberikan persaksian bahwa si polan telah begini dan begitu. Karena tidak
menutup kemungkinan ada orang yang mentajrih hanya sekedar ingin menjatuhkan
orang yang tidak disukai.
5.
Menjauhi
fanatik golongan.Syarat ini ada kaitannya dengan jujur karena orang yang tidak
menjauhi sektenya masing-masing dalam memberikan persaksian itu akan dominan
dalam mempertahankan sekte yang dianut. Maka pada akhirnya, pendapatnya akan
tidak jujur disebabkan karena arogansi yang dimiliki oleh masing-masing sekte.
6.
Mengetahui
sebab-sebab mentajrih atau menta’dil seseorang. Sebagaimana yang telah
diketahui bersama bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa tidak diterima tajrih
atau ta’dil jika tidak menyebutkan sebab-sebabnya. Olehnya itu, para ulama yang
setuju dengan pendapat diatas telah sepakat untuk memasukkan syarat bagi orang
yang mentajrih atau menta’dil bahwa harus ada penyebutan sebab-sebab, mengapa dia
mentajrih atau menta’dil si polan
Olehnya itu, apabila kita menemui sebagian
ahlli jarh dan ta’dil menjarahkan ataupun menta;dilkan seorang perawi, maka
kita tidak perlu segera menerima pendapatnya tersebut tetapi hendaklah kita
melakukan penelitian terlebih dahulu. Karena, kadang-kadagng sebab-sebab yang
digunakan untuk menjarah atau menta’dil itu setelah kita adakan penyelidikan
ternyata dapat dipakai untuk menolak tuduhannya.[4]
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,“Apakah
kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan
menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,“Mereka
menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu[5]
D.
Segi – Segi Rijalul Hadits yang menjadi sasaran kegiatan al-Jarh
wa al-Ta’dil
1.
Dilihat dari
segi kualitas pribadi dan kriteria yang
berlaku
a.
Hal-hal
yang tidak diisyaratkan bagi ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
- Tidak diisyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka.
- Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali dengan pernyataan dua orang.
- Tidak diisyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka.
- Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali dengan pernyataan dua orang.
b.
Tata
tertib Ulama al-jarh wa al-ta’dil
Beberapa point tata tertib penting yang perlu diperhatikan oleh ulama al-jarh wa al-ta’dil :
- Bersikap obyektif dalam tazkiyah
- Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan
- Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya
- Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan lantaran darurat.
Beberapa point tata tertib penting yang perlu diperhatikan oleh ulama al-jarh wa al-ta’dil :
- Bersikap obyektif dalam tazkiyah
- Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan
- Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya
- Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan lantaran darurat.
2.
Di lihat
dari segi kapasitas intelektual dan kriteria yang berlaku dengan memenuhi
syarat:
a.
Al-jarh
wa al-ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Bentuk-bentuk dan telaah kitab-kitab syariah. Antara lain :
- Orang yang menilai jarh itu sendiri kadang kala orang yang dijarh.
- Orang yang menilai jarh termasuk diantara orang yang sangat mempersulit dan memperberat.
Bentuk-bentuk dan telaah kitab-kitab syariah. Antara lain :
- Orang yang menilai jarh itu sendiri kadang kala orang yang dijarh.
- Orang yang menilai jarh termasuk diantara orang yang sangat mempersulit dan memperberat.
b.
Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan
sebab-sebabnya.
E. Peringkat
Kualitas Pribadi Dan Kapasitasnya
Para
perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang
hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula
yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta
ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini
melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu,
para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang
menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu
pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
Tingkatan
At-Ta’dil
1.
Tingkatan
Pertama
Yang
menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan
af’ala
dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak
ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan
ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2.
Tingkatan
Kedua
Dengan
menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan
ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah,
atau tsiqatun-tsabt,
atau tsiqah
dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah
dan hafidh.
3.
Tingkatan
Ketiga
Yang
menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti :
tsiqah, tsabt, atau hafidh
4.
Tingkatan
Keempat
Yang
menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan
kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu
ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa
ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in
kalimat laa
ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai
ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang
biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan
perawi tersebut).
5.
Tingkatan
Kelima
Yang
tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan
Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan
darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik
haditsnya).
6.
Tingkatan
Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti :
Shalihul-Hadiits
(haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis
haditsnya).
Hukum
Tingkatan-Tingkatan Ini
·
Untuk
tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih
kuat dari sebagian yang lain.
·
Adapun
tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka
dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits
mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
·
Sedangkan
untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian,
karena mereka tidak dlabith.
Tingkatan
Al-Jarh
1.
Tingkatan
Pertama
Yang
menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh
seperti : layyinul-hadiits
(lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya
diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada
kelemahan)
2.
Tingkatan
Kedua
Yang
menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai
hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if,
atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui
identitas/kondisinya).
3.
Tingkatan
Ketiga
Yang
menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if
jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau
“tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada
apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa
bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4.
Tingkatan
Keempat
Yang
menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham
bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”,
atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi
tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5.
Tingkatan
Kelima
Yang
menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab
(tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’
(pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’
(dia memalsikan hadits).
6.
Tingkatan
Keenam
Yang
menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan;
seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam
kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum
Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
·
Untuk
dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits
mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang
untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
·
Sedangkan
empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh
ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.