A. PENDAHULUAN
Dalam ilmu tasawuf, dilihat dari sudut tingkatan dalam beramal (tasawuf amali) terdapat empat tingkatan: syariat, tarekat, ma’rifat dan hakikat. Syariat, sebagai ilmu yang paling awal, mempelajari tentang amal ibadah dan muamalah secara lahir, hal ini juga disebut ilmu lahiriyyah.
Tarekat, sebagai ilmu kedua, mempelajari tentang latihan-latihan rohani yang dilakukan sekelompok umat Islam (para sufi) menurut aturan-aturan tertentu, yang tujuan pokoknya adalah agar dapat mengantarkan salik kesuatu perjalanan, yaitu hakikat Allah. Aturan-aturan tersebut diformasikan dalam tahapan demi tahapan, yang kemudian dikenal dengan maqamma>t wa al-ah}wa>l. Hal ini disebut pula dengan ilmu bat}iniyyah.
Ma’rifat, sebagai tingkat ketiga, mempelajari tentang bagaimana mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya. Ma’rifat yang dimaksud di sini, adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) baik zat-Nya, sifat-Nya maupun asma-Nya.
Hakikat, sebagai tingkat terakhir dan lanjutan dari ma’rifat, berusaha menunjukkan hasil dari ma’rifat itu ke dalam wujud yang sebenar-benarnya, atau pada tingkat kebenaran yang paling tinggi atau disebut dengan istilah fana’ (hilangnya kesadaran diri dan alam sekelilingnya), karena hanya dalam keadaan yang demikianlah terbuka dan tersingkapnya tirai penutup yang merintangi seorang hamba dengan Tuhannya (kashf al-mah}ju>b).
Dengan demikian, nampaknya ma’rifat mengarah pada tingkatan kondisi mental seorang hamba, sedangkan hakikat mengarah pada kualitas pengetahuanya. Namun dalam pembahasan ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan ma’rifat, meliputi:
a. Pengertian Ma’rifat
b. Dalil-dalil Ma’rifat
c. Klasifikasi Ma’rifat
d. Langkah-langkah menuju Ma’rifat
e. Karakteristik Ahli ma’rifat
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Ma’ri’fat
Istilah ma’rifat berasal dari kata “al-Ma’rifat”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila di hubungkan dengan pengalaman tasawuf , maka istilah ma’rifat berarti mengenal Allah ketika seorang sufi mencapai maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah seperti ini di rumuskan defenisinya oleh beberapa ulama tasuwuf antara lain:
المَعْرِفَةُ جَزْمُ القَلْبِ بِوُجُوْدِ الوَجِبِ المَوْجُوْدِ مُتَّصِفًا بِسَائِرِالْكَلِمَاتِ
Artinya: “Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya atau wujud adanya Allah yang menggambarkan kesempurnaannya.”
2. al-Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan Al-khadiry mengatakan tentang ma’rifat sendiri adalah:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعُ الحَقِّ, وَهُوَ القَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الاَنْوَارِ
Artinya: “Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi), yang mana hatinya selalu berhubungan dengan cahaya”.
3. Ima>m al-Qushairy mengemukakan pendapat Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad bin Abd allah yang mengatakan:
اَلمَعْرِفَةُ يوْجِبُ السَّاكِينَةَ فِى القَلْبِ كَمَا أَنَّ العِلْمَ يوْجِبُ السُّكُوْنَ, فَمَنِ ازْدَدَتْ مَعْرِفتُهُ إِزْدَدَتْ مَعْرِفَتُهُ.
Artinya: Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat Ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
4. Ima>m al-Ghazaly menjelaskan Ma’rifat adalah[2]:
اَلمَعْرِفَةُ الإِطْلاَعُ عَلَى أَسْرَارِ الرُّبوْبِيَّةِ وَالعِلْمُ بِترَتُّبِ الأُمُوْرِ الإِلَهِيَّةِ المُحِيْطَةِ بِكُلِّ المَوْجُوْدَاتِ
Artinya: Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
5. Menurut Ahmad bin Muhammad bin Abdul karim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Husain bin Atha’illah al-Iskandary, Ma’rifat ialah: “Pengenalan terhadap sesuatu baik dzat maupun sifatnya dengan kenyataan dan sebenarnya”.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengertian Ma’rifat yang didefinisikan para Ulama hanya sebatas mengenal, mengetahui dan melihat kepada Sang Pencipta melalui sanubari hati. Hal ini merupakan karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya.
b. Dalil-dalil Ma’ri’fat
Dalam QS. al-ankabut: 69:
z`Ï%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZÏù öNåk¨]tÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4 ¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÏÒÈ
Artinya: Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
سَمِعْتُ أَبَا حَاتِمٍ الصُوْفِي، يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا نَصْرٍ الطُّوْسِي يَقُوْلُ: سُئِلَ رُوَيْمُ عَنْ أَوَّلِ فَرْضٍ اِفْتَرَضَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ مَا هُوِ؟ فَقَالَ: اَلْمَعْرِفَةُ؛ لِقَولِهِ جَلَّ ذِكْرُهُ: " وَمَا خَلقْتُ الجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِلاَّ لِيَعْرَفُوْنَ.
Artinya: saya mendengar dari Abi Hatim al-S}u>fy, ia berkata: “saya mendengar Abi al-Nas}r al-t}u>si berkata: Ruwaim pernah ditanya tentang kewajiban pertama yang diwajibkan oleh Allah kepada makhluknya, apa kewajiban tersebut? ia menjawab: Ma’rifat, karena firmaNya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Ibnu ‘Abbas mengatakan: “melainkan supaya mereka mengetahuiKu”.
قَالَ الجُنَيْدُ: إِنَّ أَوَّلَ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ العَبْدُ مِنَ الحِكْمَةِ: مَعْرِفَةُ المَصْنوْعِ صَانِعَهُ، فَيعْرِفُ صِفَةَ الخَالِقِ مِنَ المَخْلُوْقِ
Arinya: al-Junaid berkata: “sesungguhnya Hikmah yang pertama kali dibutuhkan oleh seorang hamba ialah: seorang makhluk mengetahui Penciptanya, maka ia akan mengetahui sifatnya Sang Pencipta melalui makhluknya[3].
Dengan demikian, mengenal Allah merupakan ilmu pengetahuan yang terpelik, karena Allah mewajibkan kepada setiap makhluk baik jin, manusia, malaikat dan syetan untuk mengenal sifat-Nya, perbuatan dan asma’-Nya. Kewajiaban ini untuk seluruh makhluk sesuai dengan kemampuan dan keadaan masing-masing.
Ma’rifat billah semata-mata bukanlah hasil pemikiran manusia, namun juga tergantung pula pada karunia Allah. Datangnya karunia ini (Ma’rifat) karena adanya kesungguhan, kerajinan, kepatuhan, ketaatan dan kepasrahan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriyah sebagai pekerjaan yang disebut ibadah kepada Allah. Karunia Allah itu sebagai balasan untuk perbuatan shalehnya. Maka apabila sudah melakuakan amal shaleh secara istiqamah dimana hatipun sejajar dengan geraknya, sehingga akan mencapai derajat tinggi disisi Tuhanya dan akan dibukakan baginya pintu Ma’rifat.
Menurut al-Gazali, untuk mencapai Ma’rifat kepada Tuhanya harus melaui pintu gerbang (hati), yang mana pintu tersebut dapat dibuka dengan sebuah kunci (hubb), karena pada dasarnya Ma’rifat merupakan manivestasi dari mah}abbah. Oleh karenanya al-H}ubb atau mah}abbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan dengan Ma’rifat[4].
c. Klasifikasi Ma’rifat
Menurut Z}unnu>n al-Mis}riyyah (bapak paham Ma’rifat w. 860 M) bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada tiga macam[5]:
1. Pengetahuan awam, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui meniru atau taqli>d
2. Pengetahuan ulama, yaitu pengetahuan yang didapat melalui pembuktian rasional.
3. Pengetahuan sufi, yaitu pengetahuan melaui metode penyaksian langsung dengan langsung dengan radar pendeteksi, yaitu qalbu yang bersih dan bening.
Dengan demikian pengetauan awam dan Ulama diatas belum dapat memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehingga kedua pengetahuan tersebut baru disebut “ilmu” belum dapat dikatakan “Ma’rifat”. Akan tetapi pegetahuan yang disebut Ma’rifat adalah pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan, sehingga Ma’rifat hanya diperoleh pada kaum sufi . mereka sanggup mengetahi Tuhan dengan dengan cara melalui hati sanubarinya. Oleh karena itulah Z}unnu>n al-Mis}riyyah mengatakan:
عَرَفْتُ رَبِّيْ بِرَبِّيْ وَلَوْلاَ رَبِّيْ لَمَا عَرَفْتُ رَبِّي
Artinya: “aku mengetahui Tuhan dengan perantara Tuhan dan seandainya tidak karena Tuhan maka aku tak tahu Tuhan.
d. Langkah-langkah menuju Ma’rifat
Potensi untuk memperoleh Ma’rifat sesungguhnya telah ada pada manusia. Hanya saja apakah prasarana dan prasyaratnya telah memenuhi atau tidak. Salah satu prasyaratnnya, antara lain adalah kesucian jiwa dan hati. Hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu ‘Araby dalam fushu>s al-Hika>m-nya: “Qalb (hati) dalam pandangan kaum sufi adalah tempat keadaan kashf dan ilha>m. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk Ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajally) makna-makna kegaiban”.
Menurut al-Ghazali, ungkapan diluar akal dan jiwa, terdapat pada alat atau qalb yang dapat menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan terjadi pada masa mendatang. Oleh karenanya, ilmu Ma’rifat tidak spontanitas dimiliki oleh sembarang orang, melainkan hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Untuk itu, di samping melalui tahapan-tahapan maqama>t dan ah}wa>l untuk memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu. Upaya yang di maksud antara lain:
1. Riya>d}ah, yaitu latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak mengotori jiwanya, termasuk diantaranya adalah meninggalkan sifat-sifat jelek, mengobati penyakit-penyakit hati. Riya>d}ah perlu dilakukan, karena ilmu ma’rifat dapat diperoleh melalui amal-amal shaleh atau melakukan kebaikan terus menerus. Hal yang terpenting dalam Riya>d}ah adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi.
2. Tafakkur (berpikir), dalam hal ini perlu dilakukan, sebab tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkanya dan menganalisanya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya.
Menurut Amin al-Kurdi dalam tanwi>r al-qulu>b menjelaskan bahwa tafakkur atau pengenalan mengarah pada mahkluknya lebih-lebih kepada dirinya sendiri. Karena barang siapa yang mengenal dirinya, niscaya akan mengenal Tuhanya. Sebagaimana sabda Nabi:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ عَرَفَ رَبَّهُ
Artinya: barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhanya.
3. Tazkiya>t al-Nafs, yaitu proses penyucian jiwa manusia. Tazkiya>t al-Nafs perlu dilakukan, sebab ilmu ma’rifat tidak dapat diterima oleh manusia yang jiwanya dalam keadaan kotor. Seperti dalam QS. Al-Syams: 9-10
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Tazkiya>t al-Nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar pada asumsi bahwa jiwa ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek material. Kegiatan mengetahui sebenarnya ibarat cermin menangkap gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan tergantung pada kadar kebersihan cermin yang bersangkutan. Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu ma’rifat dalam jiwa, sementara jiwa manusia yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan membuat manusia terhijab oleh Allah.
4. Dhikrullah, yaitu mengingat Allah. secara terminologi Dhikrullah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dhikrullah sangat diperlukan untuk menuju ma’rifat, didasarkan pada argumentasi tentang peranan dhikir itu sendiri bagi hati. Dalam QS. Al-kahfi: 24 :
ä.ø$#ur /§ #sÎ) |MÅ¡nS ö@è%ur #Ó|¤tã br& Ç`tÏôgt În1u z>tø%L{ ô`ÏB #x»yd #Yx©u ÇËÍÈ
Artinya:.. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".
Menurut al-Ghazali dalam al-Munqi>dh menjelaskan, dhikir adalah syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah, sedangkan kuncinya menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dhikir kepada Allah[6].
e. Karakteristik Ahli Ma’rifat
Opini kaum sufi tentang karakteristik Ahli ma’rifat, sangat berbeda di antara mereka. Walaupun demikian, terdapat karakteristik Ahli Ma’rifat yang hampir menjadi titik kesepakatan kaum sufi, diantaranya:
1. Merasa gelisah dan kontuinitas berpikir tatkala pengetahuan Tuhan semakin meningkat, maka rasa gelisah yang dialami Ahli Ma’rifatpun semakin bertambah. Inilah yang mendorong sikap kontuinitas berpikir.
Ibrahim bin adham berkata: “tanda seorang arif atau ahli ma’rifat: siratan hati lebih banyak berpikir dan beribadah, ucapan lebih sering memuja dan memuji Allah dan wawasan lebih mencermati intisari perbuatan dan kekuasaan Tuhan”.
2. Memilih sikap diam, Abu sulaiman al-Darami menjadikan sikap diam sebagai karakter dalam ahli ma’rifat, karena menurut beliau, dengan diam akan menjadikan rasa tentram daripada berbicara. Dalam QS. Al-taubah: 82 menjelaskan:
(#qä3ysôÒuù=sù WxÎ=s% (#qä3ö7uø9ur #ZÏVx. Lä!#ty_ $yJÎ/ (#qçR%x. tbqç7Å¡õ3t ÇÑËÈ
Artinya: Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.
Kedua sifat tersebut dapat menimbulkan rangsangan untuk menangis dan meneteskan air mata, karena ia telah mengetahui hakikat Tuhan. Tetapi tetesan air mata tersebut tidak menandakan hatinya sedih, melainkan hatinya telah dipenuhi rasa senang dan bahagia, karena ia telah mengetahui hakikat Tuhan.
3. Merasa takut, mengeluhkan kerangka fisik yang tak pernah segera musnah. Karena dia tahu bahwa kematian berarti suatu langkah untuk bertemu Allah. Kehidupan duniawi menjadi tersa kotor rasa rindu yang menyaksikan Tuhan semakin memuncak.
Demikianlah penafsiran dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Barang siapa rindu bertemu Allah maka Allah akan bertemu dengan dia”.
4. Memiliki kasih sayang dan lemah lembut sesama manusia, seperti bumi yang dihuni oleh orang kafir dan mu’min, kebaikan dan kejahatan. Seperti awan yang meneteskan hujan untuk menyirami segalanya, berkilauan ilmu-ilmu yang beragam dan sabar menanti keajaiban alam gaib dan kemasan rahasia-rahasia Tuhan.
5. Selalu berdzikir, melihat Tuhan yang senantiasa mengawasinya mendorong seseorang untuk selalu berdzikir. Hanya kata Allah yang terlihat orang lain dan hanya kata Allah yang terdengar, karena kedekatan dari kepada Allah.
Karakteristik yang ditawarkan oleh Ibnu ‘Arabi hanya berlaku bagi Madzhabnya (paham wahdah al-wuju>d), karena sebagian adalah sifat-sifat manusia dan sebagian lagi adalah sifat-sifat Allah, sama sekali tidak memiliki kondisi (hanya unsur kebersamaan) dan tenggelam dalam kontinuitas dzikir kepada Allah[7].
Menurut Khalifah Utsman bin affan mengemukakan: “tanda-tandanya orang ‘arif atau ahli Ma’rifat ada delapan macam: harinya selalu di sertai rasa takut dan harapan, lisanya disertai dengan sanjungan dan pujian, matanya selalu disertai rasa malu dan tangis, kehendaknya selalu diisi dengan meninggalkan kehendaknya dan ridlo dengan kehendak Allah, yaitu meninggalkan dunia dan mencari ridlo Allah[8].
C. PENUTUP
Ma’rifat adalah Pengenalan terhadap sesuatu baik dzat maupun sifatnya dengan kenyataan dan sebenarnya ketetapan hati, yang mana hatinya mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Ma’rifat dapat diperoleh bagi orang-orang yang telah melalui tahapan-tahapan maqama>t dan ah}wa>l untuk memperoleh ma’rifat, selain itu juga harus melalui upaya-upaya tertentu semisal: Riya>d}ah, Tafakkur, Tazkiya>t al-Nafs, Dhikrullah.
karakteristik Ahli Ma’rifat diantaranya: harinya selalu di sertai rasa takut dan harapan, lisanya disertai dengan sanjungan dan pujian, matanya selalu disertai rasa malu dan tangis, kehendaknya selalu diisi dengan meninggalkan kehendaknya dan ridlo dengan kehendak Allah, yaitu meninggalkan dunia dan mencari ridlo Allah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010)
A. Rivay Siregar. Tasawuf: dari sufisme klasik ke neo-sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1999)
al-Ghaza>ly, Ih}ya’ ‘Ulu>m al-Din, (semarang: T}aha Putra, t.th I)
al-Qushairy, al-Risa>lah al-Qushairiyyah, (CD.ROM,Maktabah al-Shamela, I)
Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998)
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011)
Muhammad al-Sayyid al-Ghalind, Tasawuf: Dalam pandangan al-Quran dan al-sunnah, terj. Muhammad abdullah al amiry, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2003)
Muhammad Nawawi bin Umar al-jawi, Nas}a>ihul ‘iba>d, (Surabaya: al-H}aramain, t.th)
[2] Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998) 234
[4] A. Rivay siregar. Tasawuf: dari sufisme klasik ke neo-sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1999) 127
[6] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011) 87. Dan lihat: al-Ghaza>ly,Ih}ya’ ‘Ulu>m al-Din, (semarang: Taha Putra, t.th I) 21
[7] Muhammad al-Sayyid al-Ghalind, Tasawuf: Dalam pandangan al-Quran dan al-sunnah, terj. Muhammad abdullah al amiry, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2003) 147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar