SEMANTIK DALAM KAJIAN
MATAN HADIS
- Pendahuluan
Salah satu
bidang kajian Hadis yang terpenting adalah studi terhadap teks atau matan Hadis
Nabi saw. Kesahihan suatu matan Hadis dapat dinilai melalui
perbandingan-perbandingan yang dilakukan terhadap matan Hadis tersebut, seperti
perbandingan Hadis dengan Alquran, perbandingan Hadis dengan Hadis,
perbandingan Hadis dengan peristiwa dan kenyataan sejarah, perbandingan Hadis
dengan nalar atau rasio, dan dengan
yang lainnya. Selain itu, dengan menghimpun Hadis-hadis yang akan diteliti dan selanjutnya
melakukan perbandingan-perbandingan secara cermat, akan dapat ditentukan
tingkat akurasi atau kesahihan teks (matan) suatu Hadis.
Studi matan,
selain untuk mengetahui kesahihan (otentisitas) matan suatu Hadis, juga dilakukan
untuk mengetahui makna atau petunjuk (dalalah) dari suatu Hadis agar Hadis
tersebut dapat dipahami dan diamalkan. Dari segi petunjuk (dalalah)nya,
matan suatu hadis ada yang secara pasti menunjuk kepada satu makna (qath'iy
al-dalalah) dan ada yang menunjuk kepada suatu makna dan pada saat yang sama
memungkinkan untuk dipahami dengan makna yang lain (dzanniy al-dalalah). Dalam
upaya memperoleh pemahaman yang sesungguhnya terhadap makna dan petunjuk (dalalah)
dari matan suatu hadis, kontribusi ilmu tentang makna yang dikenal dengan
"ilmu semantik," diyakini dapat membantu dalam memahami teks-teks
(matan) Hadis, terutama untuk memahami matan Hadis yang secara tekstual sulit dipahami
pada masa tertentu di kemudian hari setelah Rasul wafat.
- Pengertian dan ruang lingkup semantik
Semantik dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa yunani sema (nomina:tanda,lambang); atau
dari verba samaino (menandai, melambangkan). Istilah tersebut digunakan
oleh pakar bahasa (linguis) untuk menyebut bagian ilmu bahasa (linguistik) yang
khusus mempelajari makna.
Dengan
demikian, semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti
dari bahasa. "Semantik," dengan objeknya "makna," berada di
seluruh atau semua tataran bangunan bahasa, baik pada tataran fonologi (fon=bunyi),
tataran morfologi (morfem=huruf) dan sintaksis (tata kalimat). Dalam kamus besar bahasa
Indonesia semantik diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang makna kata atau
arti kalimat.[1]
Semantik juga bisa didefinisikan sebagai bagian dari tata bahasa yang
menyelidiki tentang tata makna atau arti kata-kata dan bentuk linguistik,
fungsinya sebagai simbol dan peran yang dimainkan dalam hubungannya dengan
kata-kata lain dan tindakan manusia.[2]
Semantik merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam
bidang ilmu kebahasaan atau ilmu linguistik yang mengkaji makna. Dari segi
sejarah ilmu semantik (barat), semantik merupakan salah satu cabang kajian
filsafat yang kemudian diangkat oleh disiplin linguistik sebagai salah satu
daripada komponen bahasa yang utama selain sintaksis, morfologi dan fonologi.
Ada yang merasakan bahwa kajian semantik seharusnya menjadi fokus utama dalam
linguistik karena peranan utama bahasa adalah untuk mengungkapkan sesuatu
yang bermakna.
Semantik dikenal sebagai ilmu yang
membahas seluk beluk isi bahasa atau kajian tentang makna. Makna yang ditelaah
dalam semantik mencakup asal usul dan perkembangan makna, lambang-lambang atau
tanda-tanda yang menyatakan makna yang satu dengan makna yang lain, serta
pengaruh makna terhadap manusia dan masyarakat pemakai bahasa. Mempelajari
seluk beluk makna juga berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa
saling mengerti.[3]
Ruang lingkup semantik sebenarnya hanya
terbatas pada hubungan ilmu makna itu sendiri dalam bidang linguistik. Namun
pada kenyataannya faktor nonlinguistik terkadang ikut mempengaruhi semantik.
Begitu juga struktur dan fungsi bahasa juga berkaitan erat dengan semantik. Apa
arti struktur tanpa makna dan makna tanpa struktur tidak mungkin ada. Jadi,
bentuk atau struktur, fungsi, dan makna merupakan satu kesatuan dalam meneliti
atau mengkaji unsur-unsur bahasa(Jespersen,1924,Uhlenbeck,1978,Djajasudarma,1986).
C.
Sejarah ilmu semantik
Istilah semantik
baru muncul pada tahun 1894 yang dikenal melalui American Philological
Association (Organisasi Filologi Amerika) dalam sebuah artikel yang
berjudul Reflected Meaning: A point in Semantics. Istilah semantik sudah
ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics
philosophy. Sejarah semantik dapat dibaca di dalam artikel An Account of
the Word Semantics (Majalah Word No 4, tahun 1948: 78-9).
M.
Breal melalui artikelnya yang berjudul Le Lois Intellectualles du Langage,
mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalam keilmuwan. Di dalam
bahasa Perancis istilah tersebut dikenal dengan semantique. M. Breal
menyebutnya dengan semantik historis (historical semantics). Semantik
historis ini cenderung mempelajari semantik yang berhubungan dengan unsur-unsur
luar bahasa, seperti latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna
dengan psikologi, logika dan perubahan makna itu sendiri. Karya M. Breal
berjudul Essai de Semantique (1897).
Reisig
(1825) seorang ahli klasik mengungkapkan konsep baru tentang Grammar yang
meliputi tiga unsur utama, yakni etimologi (studi asal usul kata
sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna); sintaksis (tata
kalimat); dan semasiologi (ilmu makna atau tanda). Semasiologi sebagai
ilmu baru pada tahun 1825-1925 belum disadari sebagai semantik. Istilah
semasiologi sendiri ialah istilah yang dikemukakan oleh Reisig.
Semantik
dinyatakan tegas sebagai ilmu makna pada tahun 1897 dengan munculnya Essai
de Semantique karya M. Breal. Kemudian pada periode berikutnya disusul oleh
karya Stern (1931). Perkembangan ilmu semantik dapat dibagi menjadi tiga masa
pertumbuhan, yakni:[4]
(1)
Masa pertama merupakan masa pembentukan (cikal bakal) meliputi setengah
abad termasuk yang dirintis oleh ilmuwan klasik Reisig. Masa ini disebut
sebagai Underground period.
(2)
Masa kedua yakni semantik menjadi ilmu murni historis, adanya pandangan historical
semantics dengan munculnya karya klasik M. Breal (1897).
(3)
Masa ketiga ialah masa studi makna ditandai dengan munculnya karya filolog
Swedia, Gustaf Stern (1931) yang berjudul Meaning and Change of Meaning with
Special Reference to the English Language. Stern melakukan kajian makna
secara empiris bertolak dari satu bahasa yakni bahasa Inggris.
- Teori-teori Dalam llmu Semantik
Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki
hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil
analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Contohnya penutur bahasa Inggris
yang menggunakan kata rice pada bahasa Inggris yang mewakili nasi,
beras, gabah dan padi. Kata rice akan memiliki makna yang berbeda dalam
masing-masing konteks yang berbeda dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau
padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal rice untuk
menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki
budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia.
Para pakar filsafat dan linguistik telah
mengembangkan sejumlah teori yang berhubungan dengan konsep makna di dalam ilmu
semantik. Di antara
dasar pertimbangan mereka dalam mengembangkan teori tersebut adalah dalam hal menjelaskan
makna dalam hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran dan realitas di alam. Ada 4
(empat) teori makna, yaitu: (1)
Teori Referensial atau Korespondensi, (2)
Teori Kontekstual, (3) Teori Mentalisme atau
Konseptual, dan (4) Teori
Formalisme.
1.
Teori Referensial atau Korespondensi
Menurut Ogden dan Richards (1972), sebagaimana dikutip
oleh Parera, teori Referensial atau Korespondensi merujuk kepada segitiga semiotik
(makna) yaitu:
(1) Simbol atau lambang bahasa berupa kata atau kalimat.
(2) Referent ialah objek
atau hal yang ditunjuk (peristiwa atau fakta di dalam dunia pengalaman manusia)
(3) Reference yaitu
makna atau konsep pikiran kita tentang objek yang diwujudkan melalui simbol
atau lambang.[5]
Makna menurut Ogden dan Richards adalah hubungan antara reference (konsep pikiran) dan referent (acuan/objek fakta) yang
dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa, baik berupa kata maupun frase atau
kalimat. Simbol bahasa dalam rujukan atau referent tidak mempunyai
hubungan langsung. Teori ini menekankan hubungan langsung antara reference
dengan referent yang ada di alam nyata. Pikiran atau reference
menurut teori referensial ini, ditempatkan dalam hubungan kausal dengan simbol
(bentuk bahasa atau penamaan) dan referent, sedangkan antara simbol (teks) dan referent (realitas) terdapat hubungan
buntung.
2.
Teori Kontekstual
Teori ini diperkenalkan oleh J.
R. Firth, yang pada tahun 1930
menyatakan sebagai berikut:
Apabila kita menganggap bahasa sebagai ekspresif
(ucapan, pernyataan)
atau komunikatif (menceritakan, menyampaikan) kita
maksudkan adalah bahwa bahasa tersebut sebagai
instrument dari keadaan
mental bagian dalam. Dan sebagaimana kita ketahui begitu
sedikit tentang keadaan mental bagian dalam, bahkan
dengan introspeksi
yang sangat cermat pun maka masalah bahasa akan
semakin pelik apabila kita semakin berusaha untuk
menjelaskannya dengan
merujuk kepada peristiwa-peristiwa mental bagian dalam yang tidak dapat
diobservasi. Dengan menganggap perkataan /pernyataan sebagai perbuatan,
peristiwa, kebiasaan, maka kita batasi penyelidikan kita pada sesuatu yang
objektif di dalam kehidupan sesama kita. Pemikiran Firth di atas melahirkan ide
tentang konteks situasi atau teori kontekstual dalam analisis makna. Maka
sebuah kata, menurut teori ini, terikat pada lingkungan kultural dan ekologis
pemakai bahasa tersebut. Bahkan teori kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah
kata atau simbol ujaran tidak memahami makna jika ia terlepas dari konteks.
Tokoh lain yang pendapatnya sejalan dan bahkan juga menjadi dasar bagi teori
kontekstual ini adalah antropolog B. Malinowski dari Inggris.
Pendapat lain tentang teori kontekstual
ini, sebagaimana dikemukakan oleh Parem, adalah bahwa setiap kata
mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata itu
baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam
kenyataannya kata itu tidak akan terlepas dari konteks pemakaiannya.
3.
Teori Mentalisme atau Konseptual
Menurut teori ini, makna ialah
mental image si pembicara dari subjek yang dibicarakan.[6]
Teori mentalisme ini pertama kali diperkenalkan oleh E desaussure yang menganjurkan
studi bahasa secara sinkronis. la menghubungkan bentuk bahasa lahiriah dengan
konsep atau ciri mental penuturnya. Ciri utama dari teori ini diantaranya
adalah sebagaimana dinyatakan oleh Glucksberg dan Danks: Makna dari kata yang diucapkan seseorang
adalah merupakan perasaan, kesan, ide, pemikiran dan kesimpulan yang ada pada diri
orang tersebut ketika kata tersebut diperdengarkan atau diproses. Teori
mentalisme ini pada umumnya lahir dan disponsori oleh para psikolinguis.
4.
Teori Pemakaian dari Makna atau
Formalisme
Teori ini dikembangkan oleh
Wittgenstein, seorang filsuf Jerman. Sebuah kata, menurut Wittgenstein, tidak
mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu
berubah dari waktu ke waktu. Makna tidak mantap di luar kerangka pemakaiannya. Wittgenstein
bahkan mengatakan:
“jangan
menanyakan makna sebuah kata; tanyakanlah pemakaiannya,” dan pernyataan ini melahirkan
satu kesimpulan tentang makna, yaitu: Makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakaiannya
dalam masyarakat bahasa.
- Korelasi Hadis Nabi SAW dan Ilmu Semantik
Matan sebuah Hadist pada dasarnya adalah
perkataan Nabi saw atau reportase dari para sahabat tentang Rasul saw, yang
kesemuanya itu bewujud dalam bentuk bahasa, baik lisan ataupun tulisan.
Bahasa adalah bentuk interpretasi dan representasi
dari sebuah realitas. Oleh karenanya ketika sebuah bahasa lahir (ditulis atau diucapkan),
maka konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sistem nilai yang dianut
oleh yang mengucapkan akan menyertai pernyataan yang lahir dari bahasa
tersebut.
Hadis Nabi sebagai bagian dari bahasa, pada perkembangan selanjutnya
terdokumentasi dalam bentuk tulisan yang disebut dengan teks (matan) Hadis.
Pada saat Hadis ini telah berbentuk teks, maka ketika itu ia akan kehilangan
konteksnya, sehingga siapa pun yang
membacanya tidak akan dapat memahami maknanya secara objektif kecuali bila konteks
awal pembentukan kata tersebut dirujuk kembali.
Dalam upaya memahami Hadis Nabi secara objektif, maka usaha untuk menghadirkan
kembali konteks ketika sebuah Hadis tersebut lahir adalah sangat penting. Hal
tersebut terutama karena dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat sekian
banyak variabel serta gagasan tersembunyi yang harus dipertimbangkan, agar
lebih mendekatkan kepada kebenaran gagasan yang disajikan dalam teks tersebut.
Hal tersebut, sebagaimana halnya dengan teks-teks lainnya yang ditulis oleh
pengarangnya, tanpa memahami motif di balik kelahiran teks tersebut, seperti
suasana politik psikologis dan sasaran pembaca yang dibayangkan oleh
pengarangnya, maka sangat mungkin terjadi salah paham ketika kita membaca
sebuah karya tulis.
Teori perubahan makna menyatakan bahwa
makna (sebuah kata) akan berubah seiring dengan perkembangan bahasa di mana
kata tersebut memerlukan makna (acuan) dan label baru. Lebih jauh para pakar
bahasa menyebutkan faktor penyebab terjadinya perubahan makna pada setiap
bahasa. Faktor-faktor penyebab tersebut adalah:
(a)
Dorongan kebutuhan, (b) Perkembangan sosial budaya, (c) Perubahan sistem
kebahasaan, (d) Transformasi bahasa ke dalam majaz, (e) adanya inovasi
atau penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan. Penggunaan berbagai teori
yang ada di dalam Ilmu Semantik, seperti teori referensial, teori kontekstual,
dan menerapkannya dalam memahami makna dan petunjuk (dalalah) matan
sebuah Hadis, akan dapat membantu pemecahan persoalan Hadis-hadis yang selama ini
dianggap tidak relevan lagi (out of date).
Teori referensial dan teori kontekstual
dapat disimpulkan sebagai teori yang relevan untuk dipergunakan dalam pemahaman
makna terhadap matan-matan Hadis Nabi saw. Hal
tersebut didasarkan kepada substansi dari kedua
teori tersebut sama-sama mendukung untuk memahami teks berupa ujaran atau
bahasa yang diucapkan Rosul, atau reportase yang disampaikan oleh para sahabat
tentang Rosul, yang teks atau bahasa tersebut menghubungkan antara gagasan yang
ada pada diri Rasul dengan acuan yang ada di alam nyata ini, sebagaimana yang
diyakini dalam teori referensial; atau sesuatu teks yang disampaikan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tersebut,
sebagaimana yang dianut oleh teori kontekstual. Bahkan menurut teori yang
disebut terakhir ini, bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai
makna jika ia terlepas dari konteks.[7]
- lmplementasi Teori Semantik Dalam Memahami Hadis
Teori semantik sebagai teori tentang
makna pada dasarnya dapat dipergunakan untuk memahami teks-teks Hadis, karena Hadis-hadis
tersebut adalah berupa perkataan atau ujaran Rasul SAW pada kasus hadis Qauli,
atau perkataan dan reportase para Sahabat terhadap perbuatan atau sifat
Rasul SAW. Di antara Hadis-hadis tersebut ada yang sangat memerlukan teori semantik
di dalam memahaminya, terutama Hadis-hadis Rasul SAW yang berhubungan dengan
budaya, perilaku atau ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh manusia yang erat
hubungannya dengan situasi dan kondisi atau budaya yang berkembang dan berubah.
Dari beberapa teori semantik yang ada, maka teori referensial dan kontekstual
adalah di antara teori yang tepat dan relevan dipergunakan dalam memahami Hadis-hadis
Nabi saw terutama yang sesuai dengan kriteria di atas.
Pendekatan bahasa
(semantik) dalam kajian hadis diperlukan apabila dalam matan hadis terdapat
aspek-aspek keindahan bahasa (balaghah) yang memungkinkan mengandung
pengertian majazi (metaforis) yang tentunya berbeda dengan makna haqiqi.
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majaz
(kiasan atau metafora), dikarenakan Rasul merupakan orang arab yang menguasai balaghah
(retorika). Rasul menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau dengan
cara yang sangat mengesankan. Adapun yang dimaksud majaz ialah ungkapan yang
tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tapi bisa dipahami melalui
indikasi (qarinah) yang menyertainya. Termasuk di dalamnya percakapan
imajiner yang dinisbatkan kepada binatang-binatang, burung-burung, benda-benda
mati serta makna-makna tertentu. Majaz juga mencakup perlambangan atau tamsil.
Menurut Yusuf
al-Qaradhawi, pemahaman tentang majaz merupakan keharusan guna menghindari
kesalahan dalam memahami hadis. Kesalahan dalam memahami hadis karena tidak
memperhatikan majaz sudah terjadi pada zaman Nabi SAW. Suatu ketika Nabi SAW berbicara
kepada istri-istri beliau, bahwa yang paling cepat menyusul diantara kalian
sepeninggalku ialah yang paling panjang tangannya. Menurut ‘Aisyah mereka
saling mengukur, siapa diantara mereka yang tangannya paling panjang. Padahal
yang dikehendaki Rasul ialah yang paling banyak kebaikan dan kedermawannya.[8]
Untuk
hadis yang tidak bisa dipaham secara tekstual, maka bisa dilakukan ta’wil.
Takwil ialah mengarahkan suatu makna tidak sesuai dengan makna asli dari
lafad tersebut. Upaya takwil harus didukung alasan yang kuat, jika tidak maka
takwil tersebut harus ditolak, begitu pula penakwilan yang dipaksakan.
Sedangkan pemahaman yang hanya sesuai dengan susunan lahiriyah atau tekstual
saja juga harus ditolak, jika bertentangan dengan logika yang jelas, hukum syar’i
yang benar, pengetahuan yang pasti atau kenyataan yang meyakinkan.[9]
Untuk bisa
memahami hadis dengan benar, penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi
kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Sebab konotasi kata-kata
tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa yang lain atau dari suatu
lingkungan ke lingkungan yang lain. Salah satu contoh dalam hadis yang telah
berubah konotasinya ialah kata tashwir (pembuatan gambar atau
pembentukan rupa).
صحيح البخاري
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ قَالَ كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ فِي دَارِ يَسَارِ
بْنِ نُمَيْرٍ فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ
عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Dalam
hadis tersebut dijelaskan bahwa manusia yang paling pedih siksanya di hari
kiamat ialah orang-orang yang membuat gambar.[10]
Pada saat ini, kata tashwir digunakan untuk menyatakan suatu kegiatan
pengambilan gambar dengan kamera. Teknologi fotografi ini belum ada dan belum
dikenal pada masa Nabi SAW. Meskipun penggunaan kata tashwir untuk saat
ini identik dengan foto kamera, akan tetapi tidak tepat memasukkan tukang foto
kepada mushawwir yang diancam dengan siksaan sebagaimana dalam hadis di
atas karena foto bukan bentuk asli gambar akan tetapi hanya duplikat dari
bentuk asli.[11]
Salah satu contoh matan hadis yang berbentuk tasybih
(allegory) yaitu hadis tentang persaudaraan atas dasar iman.
صحيح البخاري
حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي
مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
Artinya:
“sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman yang lain ibarat
bangunan,
bagian yang satu memperkokoh bagian yang lain
dan jari-jemarinya berjalinan”[12]
Matan
hadis tersebut ditinjau dari aspek kebahasaan, mengandung ungkapan gaya bahasa tasybih tamsil
jika ditinjau dari wajah syibh-nya. Tasybih tamsil yaitu bila wajah
syibh-nya berupa gambaran yang dirangkai dari keadaan beberapa hal. Rasulullah SAW menyerupakan dua orang mukmin dengan sebuah
bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan. Musyabbah dalam hadis
di atas ialah hubungan orang mukmin dengan mukmin yang lain; musyabbah bih-nya
ialah bangunan yang bagian-bagiannya saling memperkokoh; sedang wajah syibh-nya
yaitu gambaran bagian-bagian bangunan yang memperkuat sebuah bangunan.
Tujuan dari tasybih
dalam matan hadis di atas ialah
- Menjelaskan keadaan musyabbah karena musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui musyabbah bih.
- Tasykhish (personifikasi) yaitu penggambaran benda mati menjadi benda hidup seperti bagian bangunan (benda mati) dapat saling memperkuat seolah-olah memiliki tangan dan kekuatan (personifikasi).
Hadis ini
mengandung ajaran universal yang menekankan persaudaraan antar muslim karena
terikat kesamaan iman. Hadis di atas senada dengan hadis berikut:[13]
صحيح
مسلم
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ
عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Dalam matan hadis di atas wajah syibh-nya
disebut secara jelas, yakni kasih sayang antar orang mukmin. Perumpamaan antar
orang-orang mukmin dalam kasih sayang mereka bagaikan sebuah jasad apabila
salah satu anggota tubuh ada yang sakit maka anggota tubuh yang lain juga
merasakan sakit.
Dari aspek semantik, dua matan hadis di atas
terdapat unsur penyerupaan (tasybih)
dengan menggambarkan hubungan antar orang mukmin. Dua hadis tersebut memperkuat
petunjuk al-Qur’an surat al-Hujurat : 10
$yJ¯RÎ)
tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù
tû÷üt/
ö/ä3÷uqyzr&
4
(#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè?
ÇÊÉÈ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, oleh sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.”
Contoh lain penerapan ilmu semantik dalam hadis
ialah[14]
صحيح
مسلم
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ
الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
Dalam hadis
tersebut dijelaskan bahwa dunia merupakan penjaranya orang mukmin dan surganya
orang kafir. Apabila hadis tersebut difahami secara tekstual tentu pemahamannya
selama hidup di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan, karena
diibaratkan bagaikan penjara. Kebahagiaan hidup baru bisa dirasakan orang
mukmin jika sudah berada di surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir,
kehidupan di dunia ialah surga. Di akhirat, orang kafir berada di neraka.
Pemahaman semacam itu justru bertentangan dengan ruh ajaran islam yang
mengajarkan untuk menjaga keseimbangan hidup di dunia sebagai bekal di akhirat.
Pemahaman
yang demikian tersebut sangat wajar karena hanya secara tekstual, tanpa melihat
pendekatan makna bahasa (semantik) dalam memahami hadis. Padahal makna hadis
tersebut masih memungkinkan dipahami secara kontekstual dengan melalui
pendekatan semantik. Pemahaman yang tepat melalui pendekatan semantik ialah
kata penjara dalam hadis tersebut menunjukkan adanya perintah berupa kwajiban
dan anjuran, disamping adanya larangan berupa hukum haram dan makruh. Bagi orang
yang beriman, kegiatan hidup di dunia
ini tidak bebas tanpa batas. Ibarat penghuni penjara, maka hidupnya dibatasi oleh
berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir hidup adalah surga sebab dalam
menempuh kehidupan, dia bebas dari perintah dan larangan.[15]
- Hermeneutika Hadis
Penggunaan perangkat
hermeneutika dalam kajian Islam baik al-Qur'an maupun Hadis hingga kini masih
diperdebatkan di kalangan pemikir Muslim. Banyak dari mereka menolak secara
keseluruhan, sebagian lain menerimanya secara keseluruhan dan sebagian lain
menerima atau menolak tidak secara keseluruhan.[16]
Dalam hermeneutika Gadamerian
yang digagas oleh Hans Georg Gadamer[17],
ketika memahami dan menafsirkan makna sebuah teks atau sebuah fenomena,
seseorang tidak serta merta bisa terbebas dari situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya.
Sebuah pemahaman makna sebuah teks senantiasa berada atau terjadi setelah
adanya tawar menawar pemaknaan antara pembaca (reader), teks dan
realitas. Gadamer menyebut konsep hermeneutiknya ini dengan istilah
"peleburan wacana" atau the fution of horizon. Di dalam diri
seseorang melebur berbagai tradisi dan wacana sehingga berdampak pada hasil
pemaknaan dan penafsiran terhadap suatu teks atau fenomena.[18]
Menurut analisa Muhammad
al-Ghazali, hadis harus harus diuji dahulu dengan al-Qur'an. Jika hadis
tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur'an secara universal, maka
hadis tersebut bisa ditolak dan tidak bisa diamalkan. Kondisi ini dalam aliran
hermeneutika Gadamer disebut dengan teori " kesadaran terpengaruh oleh
sejarah". Menurut teori ini, pemahaman seorang mufassir atau pensyarah
hadis ternyata dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu yang melingkupinya,
baik berupa tradisi, kultur maupun pengalaman hidup. Sehingga Gadamer
menyarankan apabila seseorang memahami makna sebuah teks maka ia harus bisa
mengatasi subyektifitas pribadinya.
صحيح البخاري
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ ،
حَدَّثَنَا عَوْفٌ ، عَنِ الْحَسَنِ ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي
اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ
امْرَأَةً
Artinya: "suatu kaum akan binasa apabila urusan mereka
diserahkan kepada wanita." Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,
al-Tirmidzi, al-Nasa'i dan Ahmad bin Hambal dari Abu Bakrah ini berkualitas
hasan shahih dari segi sanad. Secara literal dan tekstual, hadis ini
menunjukkan larangan perempuan menjadi pemimpin dalam segala urusan. Namun
pemahaman semacam itu bertentangan dengan al-Qur'an surat al-Naml:23 yang
mengisahkan Ratu Balqis memerintah kerajaan Saba'iyyah pada masa Nabi Sulaiman.
Ratu Balqis ini mengajak rakyatnya kepada keimanan dan kemenangan berdasarkan
kebijaksanaannya dan kecerdasannya, sehingga Allah menjadikan negeri yang
dipimpinnya menjadi makmur dan sejahtera.
Dalam memahami hadis di atas,
Muhammad al-Ghazali menjelaskan sabab al-wurud hadis tersebut. Hadis
tersebut disabdakan Nabi terkait peristiwa pergantian pemimpin di kerajaan
Persia tahun 9 H yang menganut pemerintahan monarki yang berada di ambang
kehancuran. Muhammad al-Ghazali berpendapat hadis tersebut secara spesifik
ditujukan kepada Ratu Kisra di Persia, sehingga wanita boleh menjadi kepala
negara dengan syarat memiliki kemampuan dalam memimpin.[20]
Sedangkan menurut Syuhudi
Ismail cara paling dekat dalam memaknai matan hadis yaitu dengan kajian
hermeneutika hadis dengan menekankan pada gramatik bahasa. Dengan menggunakan
analisis linguistik ini bisa dipahami dengan melihat bentuk bahasanya. Jika
bentuk kata-katanya mengandung maksud dan arti yang luas serta bahasa yang
padat (jawami' al-kalim) atau dengan bahasa perumpamaan (tamsil)
maka merupakan indikasi bahwa hadis itu memang benar dari Nabi.[21]
- Penutup
Berdasarkan pembahasan dan uraian
terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Di dalam ilmu
semantik diperkenalkan sejumlah teori, di antaranya Teori Referensial, Teori
Kontekstual, Toeri Mentalisme, dan Teori Pemakaian Makna. Di antara teori-teori
tersebut, maka teori Referensial dan Teori Kontekstual dapat membantu dalam
memahami hadis hadis
tertentu, terutama Hadis yang berhubungan dengan budaya, sosial, politik, dan
kehidupan sosial lainnya. Di dalam menerapkan teori-teori semantik di atas,
langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan meneliti dan memahami konteks sosial,
budaya, politik, ekonomi dan sistem nilai yang berlaku pada saat lahimya hadis
tersebut. Selanjutnya dalam mempertimbangkan perubahan pemahamannya, dipertimbangkan
pula hal-hal, seperti perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan sosial
budaya, perkembangan pemakaian kata, pertukaran tanggapan indra, dan adanya
asosiasi.
Di antara Hadis-hadis yang memerlukan
penggunaan teori semantik dalam memahami makna matannya adalah hadis-hadis yang
apabila dihubungkan dengan kondisi sekarang, maknanya tidak jelas atau kurang
relevan, sehingga memerlukan pertimbangan terhadap konteks pada masa lahirnya
dan selanjutnya konteks masa sekarang sehingga ditemukan makna yang relevan
terhadap matan hadis tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Bukhori. Shahih Bukhori.
Maktabah Syamilah.
al-Ghazali, Muhammad. Al-Sunnah
al-Nabawiyyah. Kairo:Hadza Dinuna,1989.
Ali, Nizar. Memahami Hadis
Nabi metode dan pendekatan. Yogyakarta:YPI
Al-Rahmah,
2001.
Al
Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah.
Maktabah syamilah.
Djajasudarma, Fatimah. Semantik
1. Bandung:Refika Aditama,2009.
Ismail, M.Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan
kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang,1994.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, CD
softwear.
Muslim, Shahih
Muslim. Maktabah Syamilah.
Muzir, Inyiak Ridwan. Hermeneutika
Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008.
Partanto, Pius dkk. Kamus Ilmiah
Populer. Surabaya:Arkola.
Rusmaji, Oscar. Aspek-aspek
Linguistik.Malang:IKIP Malang,1995.
Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi.
Yogyakarta:Teras,2008.
Syamsudin, Sahiron. Hermeneutika
al-Qur'an dan hadis.Yogyakarta:eLSAQ
Press,2010.
Yuslem, Nawir. Kontribusi Teori
Semantik Dalam Studi Hadis.
[1] Kamus Besar Bahasa
Indonesia, CD softwear.
[2] Pius partanto dkk, Kamus
Ilmiah Populer (Surabaya:Arkola),700.
[6]Oscar
Rusmaji, Aspek-aspek Linguistik,132.
[8] Muslim, Shohih
Muslim, No. 4490, Maktabah Syamilah.
[14]
Ibid, 205
[17] Hermeneutika Gadamer merupakan aliran hermeneutika yang
sangat berpengaruh sejak separoh kedua abad 20 M.
[18] Inyiak Ridwan
Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media,2008), 238-244.
[21] M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan
kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang,1994),13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar