Jumat, 27 April 2012

SEMANTIK DALAM KAJIAN MATAN HADIS


SEMANTIK DALAM KAJIAN MATAN HADIS
  1. Pendahuluan
Salah satu bidang kajian Hadis yang terpenting adalah studi terhadap teks atau matan Hadis Nabi saw. Kesahihan suatu matan Hadis dapat dinilai melalui perbandingan-perbandingan yang dilakukan terhadap matan Hadis tersebut, seperti perbandingan Hadis dengan Alquran, perbandingan Hadis dengan Hadis, perbandingan Hadis dengan peristiwa dan kenyataan sejarah, perbandingan Hadis
dengan nalar atau rasio, dan dengan yang lainnya. Selain itu, dengan menghimpun Hadis-hadis yang akan diteliti dan selanjutnya melakukan perbandingan-perbandingan secara cermat, akan dapat ditentukan tingkat akurasi atau kesahihan teks (matan) suatu Hadis.
Studi matan, selain untuk mengetahui kesahihan (otentisitas) matan suatu Hadis, juga dilakukan untuk mengetahui makna atau petunjuk (dalalah) dari suatu Hadis agar Hadis tersebut dapat dipahami dan diamalkan. Dari segi petunjuk (dalalah)nya, matan suatu hadis ada yang secara pasti menunjuk kepada satu makna (qath'iy al-dalalah) dan ada yang menunjuk kepada suatu makna dan pada saat yang sama memungkinkan untuk dipahami dengan makna yang lain (dzanniy al-dalalah). Dalam upaya memperoleh pemahaman yang sesungguhnya terhadap makna dan petunjuk (dalalah) dari matan suatu hadis, kontribusi ilmu tentang makna yang dikenal dengan "ilmu semantik," diyakini dapat membantu dalam memahami teks-teks (matan) Hadis, terutama untuk memahami matan Hadis yang secara tekstual sulit dipahami pada masa tertentu di kemudian hari setelah Rasul wafat.
  1. Pengertian dan ruang lingkup semantik
Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa yunani sema (nomina:tanda,lambang); atau dari verba samaino (menandai, melambangkan). Istilah tersebut digunakan oleh pakar bahasa (linguis) untuk menyebut bagian ilmu bahasa (linguistik) yang khusus mempelajari makna.
Dengan demikian, semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti dari bahasa. "Semantik," dengan objeknya "makna," berada di seluruh atau semua tataran bangunan bahasa, baik pada tataran fonologi (fon=bunyi), tataran morfologi (morfem=huruf) dan sintaksis (tata kalimat). Dalam kamus besar bahasa Indonesia semantik diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang makna kata atau arti kalimat.[1] Semantik juga bisa didefinisikan sebagai bagian dari tata bahasa yang menyelidiki tentang tata makna atau arti kata-kata dan bentuk linguistik, fungsinya sebagai simbol dan peran yang dimainkan dalam hubungannya dengan kata-kata lain dan tindakan manusia.[2]
Semantik merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu kebahasaan atau ilmu linguistik yang mengkaji makna. Dari segi sejarah ilmu semantik (barat), semantik merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang kemudian diangkat oleh disiplin linguistik sebagai salah satu daripada komponen bahasa yang utama selain sintaksis, morfologi dan fonologi. Ada yang merasakan bahwa kajian semantik seharusnya menjadi fokus utama dalam linguistik karena peranan utama bahasa adalah untuk mengungkapkan sesuatu yang bermakna.
Semantik dikenal sebagai ilmu yang membahas seluk beluk isi bahasa atau kajian tentang makna. Makna yang ditelaah dalam semantik mencakup asal usul dan perkembangan makna, lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna yang satu dengan makna yang lain, serta pengaruh makna terhadap manusia dan masyarakat pemakai bahasa. Mempelajari seluk beluk makna juga berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa saling mengerti.[3]
Ruang lingkup semantik sebenarnya hanya terbatas pada hubungan ilmu makna itu sendiri dalam bidang linguistik. Namun pada kenyataannya faktor nonlinguistik terkadang ikut mempengaruhi semantik. Begitu juga struktur dan fungsi bahasa juga berkaitan erat dengan semantik. Apa arti struktur tanpa makna dan makna tanpa struktur tidak mungkin ada. Jadi, bentuk atau struktur, fungsi, dan makna merupakan satu kesatuan dalam meneliti atau mengkaji unsur-unsur bahasa(Jespersen,1924,Uhlenbeck,1978,Djajasudarma,1986).
C.    Sejarah ilmu semantik
Istilah semantik baru muncul pada tahun 1894 yang dikenal melalui American Philological Association (Organisasi Filologi Amerika) dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meaning: A point in Semantics. Istilah semantik sudah ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics philosophy. Sejarah semantik dapat dibaca di dalam artikel An Account of the Word Semantics (Majalah Word No 4, tahun 1948: 78-9).
M. Breal melalui artikelnya yang berjudul Le Lois Intellectualles du Langage, mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalam keilmuwan. Di dalam bahasa Perancis istilah tersebut dikenal dengan semantique. M. Breal menyebutnya dengan semantik historis (historical semantics). Semantik historis ini cenderung mempelajari semantik yang berhubungan dengan unsur-unsur luar bahasa, seperti latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan psikologi, logika dan perubahan makna itu sendiri. Karya M. Breal berjudul Essai de Semantique (1897).
Reisig (1825) seorang ahli klasik mengungkapkan konsep baru tentang Grammar yang meliputi tiga unsur utama, yakni etimologi (studi asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna); sintaksis (tata kalimat); dan semasiologi (ilmu makna atau tanda). Semasiologi sebagai ilmu baru pada tahun 1825-1925 belum disadari sebagai semantik. Istilah semasiologi sendiri ialah istilah yang dikemukakan oleh Reisig.
Semantik dinyatakan tegas sebagai ilmu makna pada tahun 1897 dengan munculnya Essai de Semantique karya M. Breal. Kemudian pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern (1931). Perkembangan ilmu semantik dapat dibagi menjadi tiga masa pertumbuhan, yakni:[4]
(1)   Masa pertama merupakan masa pembentukan (cikal bakal) meliputi setengah abad termasuk yang dirintis oleh ilmuwan klasik Reisig. Masa ini disebut sebagai Underground period.
(2)   Masa kedua yakni semantik menjadi ilmu murni historis, adanya pandangan historical semantics dengan munculnya karya klasik M. Breal (1897).
(3)   Masa ketiga ialah masa studi makna ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia, Gustaf Stern (1931) yang berjudul Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language. Stern melakukan kajian makna secara empiris bertolak dari satu bahasa yakni bahasa Inggris.
  1.  Teori-teori Dalam llmu Semantik
Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata rice pada bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata rice akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal rice untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia. Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dansebaliknya, dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama: Hubungantersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut       Bisa racundapat       buku lembar kertas berjili    kitabE. Jenis SemantiSemantik memiliki objek studi makna dalam keseluruhan semantik bahasa,namun tidak semua tataran bahasa memiliki masalah semantik.Hal itu dapat dilihat dari bagan berikut:
Para pakar filsafat dan linguistik telah mengembangkan sejumlah teori yang berhubungan dengan konsep makna di dalam ilmu semantik. Di antara dasar pertimbangan mereka dalam mengembangkan teori tersebut adalah dalam hal menjelaskan makna dalam hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran dan realitas di alam. Ada 4 (empat) teori makna, yaitu: (1) Teori Referensial atau Korespondensi, (2) Teori Kontekstual, (3) Teori Mentalisme atau Konseptual, dan (4) Teori Formalisme.
1. Teori Referensial atau Korespondensi
Menurut Ogden dan Richards (1972), sebagaimana dikutip oleh Parera, teori Referensial atau Korespondensi merujuk kepada segitiga semiotik (makna) yaitu:
(1) Simbol  atau lambang bahasa berupa kata atau kalimat.
(2) Referent ialah objek atau hal yang ditunjuk (peristiwa atau fakta di dalam dunia pengalaman manusia)
(3) Reference yaitu makna atau konsep pikiran kita tentang objek yang diwujudkan melalui simbol atau lambang.[5] Makna menurut Ogden dan Richards adalah hubungan antara reference (konsep pikiran) dan referent (acuan/objek fakta) yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa, baik berupa kata maupun frase atau kalimat. Simbol bahasa dalam rujukan atau referent tidak mempunyai hubungan langsung. Teori ini menekankan hubungan langsung antara reference dengan referent yang ada di alam nyata. Pikiran atau reference menurut teori referensial ini, ditempatkan dalam hubungan kausal dengan simbol (bentuk bahasa atau penamaan) dan referent, sedangkan antara simbol (teks) dan referent (realitas) terdapat hubungan buntung.
2. Teori Kontekstual
Teori ini diperkenalkan oleh J. R. Firth, yang pada tahun 1930 menyatakan sebagai berikut: Apabila kita menganggap bahasa sebagai ekspresif (ucapan, pernyataan) atau komunikatif (menceritakan, menyampaikan) kita maksudkan adalah bahwa bahasa tersebut sebagai instrument dari keadaan mental bagian dalam. Dan sebagaimana kita ketahui begitu sedikit tentang keadaan mental bagian dalam, bahkan dengan introspeksi yang sangat cermat pun maka masalah bahasa akan semakin pelik apabila kita semakin berusaha untuk menjelaskannya dengan merujuk kepada peristiwa-peristiwa mental bagian dalam yang tidak dapat diobservasi. Dengan menganggap perkataan /pernyataan sebagai perbuatan, peristiwa, kebiasaan, maka kita batasi penyelidikan kita pada sesuatu yang objektif di dalam kehidupan sesama kita. Pemikiran Firth di atas melahirkan ide tentang konteks situasi atau teori kontekstual dalam analisis makna. Maka sebuah kata, menurut teori ini, terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tersebut. Bahkan teori kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak memahami makna jika ia terlepas dari konteks. Tokoh lain yang pendapatnya sejalan dan bahkan juga menjadi dasar bagi teori kontekstual ini adalah antropolog B. Malinowski dari Inggris.
Pendapat lain tentang teori kontekstual ini, sebagaimana dikemukakan oleh Parem, adalah bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya kata itu tidak akan terlepas dari konteks pemakaiannya.
3. Teori Mentalisme atau Konseptual
Menurut teori ini, makna ialah mental image si pembicara dari subjek yang dibicarakan.[6] Teori mentalisme ini pertama kali diperkenalkan oleh E desaussure yang menganjurkan studi bahasa secara sinkronis. la menghubungkan bentuk bahasa lahiriah dengan konsep atau ciri mental penuturnya. Ciri utama dari teori ini diantaranya adalah sebagaimana dinyatakan oleh Glucksberg dan Danks:  Makna dari kata yang diucapkan seseorang adalah merupakan perasaan, kesan, ide, pemikiran dan kesimpulan yang ada pada diri orang tersebut ketika kata tersebut diperdengarkan atau diproses. Teori mentalisme ini pada umumnya lahir dan disponsori oleh para psikolinguis.
4. Teori Pemakaian dari Makna atau Formalisme
Teori ini dikembangkan oleh Wittgenstein, seorang filsuf Jerman. Sebuah kata, menurut Wittgenstein, tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Makna tidak mantap di luar kerangka pemakaiannya. Wittgenstein bahkan mengatakan:
“jangan menanyakan makna sebuah kata; tanyakanlah pemakaiannya,” dan pernyataan ini melahirkan satu kesimpulan tentang makna, yaitu: Makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakaiannya dalam masyarakat bahasa.Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran, yaitumorfologi dan sintaksis.Morfologi adalah cabang luguistik yang mempelajari struktur intern kata,serta proses pembentukannya. Satuan dari morfologi yaitu morfem dan kata.Contoh :



     

Ajar pe-lajar 
 be-lajar 

 pe- dan be- dapat membedakan maknaSedangkan sintaksis, adalah studi mengenai hubungan kata dengan katadalam membentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Sintaksismemiliki satuan yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat.Semantik sintaktikal memiliki tataran bawahan yang disebut :a) Fungsi gramatikal b) Kategori gramatikalc) Peran gramatikalContoh analisis semantik sintaktikal :KataFungsi Si Udin Menjaga Adiknya di rumah sakitfungsi Subjek Predikat Objek keterangankategori nomina verba nomina nominaPeran agent benefaktif patient LocativeSatuan dan proses dari morfologi dan sintaktik memiliki makna. Oleh karenaitu, pada tataran ini ada masalah-masalah semantik yang disebut semantik gramatikalkarena objek studinya adalah makna-makna gramatikal dari tataran tersebut.
 
Kalau yang menjadi objek penyelidikan adalah semantik leksikon, maka jenissemantiknya adalah semantik leksikal. Semantik leksikal menyelidiki makna yangada pada leksem dari bahasa. Oleh karena itu, makna yang ada dalam leksem disebutmakna leksikal.Leksem adalah satuan-bahasa bermakna. Istilah leksem ini dapat dipandangdengan istlah kata, yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis,danyang lazim didefiinisikan sebagai satuan gramatik bebas terkecil. Baik kata tunggalmaupun kompositumContoh :
     

Kambing nama hewan
     

Hitam jenis warna
     

Kambing hitam orang yang dipersalahkan¶
F. Mamfaat Semantik 
1. Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpungdalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan :Mereka akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenaisemantik,yang dapat memudahkan dalam memilih dan menggunakan kata denganmakna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.2. Bagi peneliti bahasa : Bagi pelajar sastra, pengetahuan semantik akan banyak member bekal teoritisuntuk menganalisis bahasa yang sedang dipelajari.Sedangkan bagi pengajar sastra, pengetahuan semantik akan member manfaatteoritis, maupun praktis. Secara teoritis, teori-teori semantik akan membantu dalammemahami dengan lebih baik bahasa yang akan diajarkannya. Dan manfaat praktisnya adalah kemudahan untuk mengajarkannya. 3.Bagi orang awam :
 
Pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahamidunia yang penuh dengan informasi dan lalu-lintas kebahasaan yang terus berkembang.
G. Semantik Dalam Studi Liguistik 
1. Aristoteles (384 ± 322 SM)Kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Yaitu (1) makna yanghadir dari kata itu sendiri secara otonom (makna leksikal), dan (2) makna yang hadir akibat proses gramatika (makna gramatikal). (Ullman 1977:3)2. Plato (429 ± 347 SM)Bunyi-bunyi bahasa secara implicit mengandung makna tertentu.Memang ada perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles. Pato mempercayaitentang adanya hubungan berarti antara kata (bunyi-bunyi bahasa) dengan referen t-nya. Sedangkan Aristoteles, berpendapat bahwa hubungan antara bentuk dan arti kataadalah soal perjanjian antar pemakainya (Moulton 1976 : 33. C. Chr. Reisig (1825)Konsep baru mengenai gramatika: Gramatika terdiri dari tiga unsur utama,yaitu:a) Semasiologi adalah studi tentang tanda b) Sintaksis adalah studi tentang susunan kalimatc) Etimologi adalah studi tentang asal usul kata, perubahan bentuk kata, dan perubahan makna
 
4. Michel Breal (akhir abad XIX)Dalam karangannya, Essai de Semantique, telah menggunakan istilahsemantik. Dan menyebutnya sebagai suatu bidang ilmu yang baru.5. Ferdinand de SaussureDalam bukunya Cours de Linguistique Generale (1916).Studi lingustik harus difokuskan pada keberadaan bahasa pada waktu tertentu.Pendekatannya harus sinkronis, dan studinya harus deskriptif´.De Saussure juga mengajukan konsepsigné (tanda) untuk menunjukkanhubungan antarasignifi é (yang ditandai) dansignif iant (yang menandai).Signifié adalah makna atau konsep dari signifiant yang berwujud bunyi-bunyi bahasa.
H. Penutup,A. Kesimpulan
Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani µsema¶ (kata benda) yang berarti µtanda¶ atau µlambang¶. Kata kerjanya adalahµsemaino¶ yang berarti µmenandai¶atau µmelambangkan¶. Yang dimaksud tanda atau lambang disiniadalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).Dan semantik merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam bidangilmu kebahasaan. Bahasa indonesia sebagai Semantik merupakan cabang ilmulinguistik yang mengkaji makna. Dari segi sejarah ilmu semantik (barat), semantik merupakan satu cabang kajian falsafah yang kemudiannya diangkat oleh disiplinlinguistik sebagai salah satu daripada komponen bahasa yang utama selain sintaksis,morfologi dan fonologi.
 
Jadi, Ilmu Semantik adalah :
     

Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-halyang ditandainya.
     

Ilmu tentang makna atau arti.
B. Saran
Perbedaan pandangan mengenai pengertian semantik semestinya menjadimotifasi bagi para penuntut ilmu untuk lebih mengembangkan ilmu pengetahuanyang lebih sempurna dan tararah. Didalam mempelajri semantik pun hendaknyadimengerti dan dipahami secara seksama. Sehingga pembelajar akan mengetahuisemantik secara menyeluruh yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Korelasi Hadis Nabi SAW dan Ilmu Semantik
Matan sebuah Hadist pada dasarnya adalah perkataan Nabi saw atau reportase dari para sahabat tentang Rasul saw, yang kesemuanya itu bewujud dalam bentuk bahasa, baik lisan ataupun tulisan. Bahasa adalah bentuk interpretasi dan representasi dari sebuah realitas. Oleh karenanya ketika sebuah bahasa lahir (ditulis atau diucapkan), maka konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sistem nilai yang dianut oleh yang mengucapkan akan menyertai pernyataan yang lahir dari bahasa tersebut.
 Hadis Nabi sebagai bagian dari bahasa, pada perkembangan selanjutnya terdokumentasi dalam bentuk tulisan yang disebut dengan teks (matan) Hadis. Pada saat Hadis ini telah berbentuk teks, maka ketika itu ia akan kehilangan konteksnya, sehingga siapa pun yang membacanya tidak akan dapat memahami maknanya secara objektif kecuali bila konteks awal pembentukan kata tersebut dirujuk kembali. Dalam upaya memahami Hadis Nabi secara objektif, maka usaha untuk menghadirkan kembali konteks ketika sebuah Hadis tersebut lahir adalah sangat penting. Hal tersebut terutama karena dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan tersembunyi yang harus dipertimbangkan, agar lebih mendekatkan kepada kebenaran gagasan yang disajikan dalam teks tersebut. Hal tersebut, sebagaimana halnya dengan teks-teks lainnya yang ditulis oleh pengarangnya, tanpa memahami motif di balik kelahiran teks tersebut, seperti suasana politik psikologis dan sasaran pembaca yang dibayangkan oleh pengarangnya, maka sangat mungkin terjadi salah paham ketika kita membaca sebuah karya tulis.
Teori perubahan makna menyatakan bahwa makna (sebuah kata) akan berubah seiring dengan perkembangan bahasa di mana kata tersebut memerlukan makna (acuan) dan label baru. Lebih jauh para pakar bahasa menyebutkan faktor penyebab terjadinya perubahan makna pada setiap bahasa. Faktor-faktor penyebab tersebut adalah:
(a) Dorongan kebutuhan, (b) Perkembangan sosial budaya, (c) Perubahan sistem kebahasaan, (d) Transformasi bahasa ke dalam majaz, (e) adanya inovasi atau penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan. Penggunaan berbagai teori yang ada di dalam Ilmu Semantik, seperti teori referensial, teori kontekstual, dan menerapkannya dalam memahami makna dan petunjuk (dalalah) matan sebuah Hadis, akan dapat membantu pemecahan persoalan Hadis-hadis yang selama ini dianggap tidak relevan lagi (out of date).
Teori referensial dan teori kontekstual dapat disimpulkan sebagai teori yang relevan untuk dipergunakan dalam pemahaman makna terhadap matan-matan Hadis Nabi saw. Hal tersebut didasarkan kepada substansi dari kedua teori tersebut sama-sama mendukung untuk memahami teks berupa ujaran atau bahasa yang diucapkan Rosul, atau reportase yang disampaikan oleh para sahabat tentang Rosul, yang teks atau bahasa tersebut menghubungkan antara gagasan yang ada pada diri Rasul dengan acuan yang ada di alam nyata ini, sebagaimana yang diyakini dalam teori referensial; atau sesuatu teks yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tersebut, sebagaimana yang dianut oleh teori kontekstual. Bahkan menurut teori yang disebut terakhir ini, bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks.[7]  Fungsi Semantik Tata bahasa Sintaksis KategoriGramatikaPesan Semantik GramatikaMorfologiFonologi (Semantik) Tetapi Tiap Fonem Membadakan Makna( Fonemik)Fonetik ( Semantik ) 
  1. lmplementasi Teori Semantik Dalam Memahami Hadis
Teori semantik sebagai teori tentang makna pada dasarnya dapat dipergunakan untuk memahami teks-teks Hadis, karena Hadis-hadis tersebut adalah berupa perkataan atau ujaran Rasul SAW pada kasus hadis Qauli, atau perkataan dan reportase para Sahabat terhadap perbuatan atau sifat Rasul SAW. Di antara Hadis-hadis tersebut ada yang sangat memerlukan teori semantik di dalam memahaminya, terutama Hadis-hadis Rasul SAW yang berhubungan dengan budaya, perilaku atau ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh manusia yang erat hubungannya dengan situasi dan kondisi atau budaya yang berkembang dan berubah. Dari beberapa teori semantik yang ada, maka teori referensial dan kontekstual adalah di antara teori yang tepat dan relevan dipergunakan dalam memahami Hadis-hadis Nabi saw terutama yang sesuai dengan kriteria di atas.
                Pendekatan bahasa (semantik) dalam kajian hadis diperlukan apabila dalam matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghah) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi (metaforis) yang tentunya berbeda dengan makna haqiqi. Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majaz (kiasan atau metafora), dikarenakan Rasul merupakan orang arab yang menguasai balaghah (retorika). Rasul menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang dimaksud majaz ialah ungkapan yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tapi bisa dipahami melalui indikasi (qarinah) yang menyertainya. Termasuk di dalamnya percakapan imajiner yang dinisbatkan kepada binatang-binatang, burung-burung, benda-benda mati serta makna-makna tertentu. Majaz juga mencakup perlambangan atau tamsil.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pemahaman tentang majaz merupakan keharusan guna menghindari kesalahan dalam memahami hadis. Kesalahan dalam memahami hadis karena tidak memperhatikan majaz sudah terjadi pada zaman Nabi SAW. Suatu ketika Nabi SAW berbicara kepada istri-istri beliau, bahwa yang paling cepat menyusul diantara kalian sepeninggalku ialah yang paling panjang tangannya. Menurut ‘Aisyah mereka saling mengukur, siapa diantara mereka yang tangannya paling panjang. Padahal yang dikehendaki Rasul ialah yang paling banyak kebaikan dan kedermawannya.[8]
Untuk hadis yang tidak bisa dipaham secara tekstual, maka bisa dilakukan ta’wil. Takwil ialah mengarahkan suatu makna tidak sesuai dengan makna asli dari lafad tersebut. Upaya takwil harus didukung alasan yang kuat, jika tidak maka takwil tersebut harus ditolak, begitu pula penakwilan yang dipaksakan. Sedangkan pemahaman yang hanya sesuai dengan susunan lahiriyah atau tekstual saja juga harus ditolak, jika bertentangan dengan logika yang jelas, hukum syar’i yang benar, pengetahuan yang pasti atau kenyataan yang meyakinkan.[9]
Untuk bisa memahami hadis dengan benar, penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa yang lain atau dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain. Salah satu contoh dalam hadis yang telah berubah konotasinya ialah kata tashwir (pembuatan gambar atau pembentukan rupa).
صحيح البخاري
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ قَالَ كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ فِي دَارِ يَسَارِ بْنِ نُمَيْرٍ فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat ialah orang-orang yang membuat gambar.[10] Pada saat ini, kata tashwir digunakan untuk menyatakan suatu kegiatan pengambilan gambar dengan kamera. Teknologi fotografi ini belum ada dan belum dikenal pada masa Nabi SAW. Meskipun penggunaan kata tashwir untuk saat ini identik dengan foto kamera, akan tetapi tidak tepat memasukkan tukang foto kepada mushawwir yang diancam dengan siksaan sebagaimana dalam hadis di atas karena foto bukan bentuk asli gambar akan tetapi hanya duplikat dari bentuk asli.[11]
Salah satu contoh matan hadis yang berbentuk tasybih (allegory) yaitu hadis tentang persaudaraan atas dasar iman.
صحيح البخاري
حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
Artinya: “sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman yang lain ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh bagian yang lain dan jari-jemarinya berjalinan[12]
Matan hadis tersebut ditinjau dari aspek kebahasaan, mengandung ungkapan gaya bahasa tasybih tamsil jika ditinjau dari wajah syibh-nya. Tasybih tamsil yaitu bila wajah syibh-nya berupa gambaran yang dirangkai dari keadaan beberapa hal. Rasulullah SAW menyerupakan dua orang mukmin dengan sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan. Musyabbah dalam hadis di atas ialah hubungan orang mukmin dengan mukmin yang lain; musyabbah bih-nya ialah bangunan yang bagian-bagiannya saling memperkokoh; sedang wajah syibh-nya yaitu gambaran bagian-bagian bangunan yang memperkuat sebuah bangunan.
Tujuan dari tasybih dalam matan hadis di atas ialah
  1. Menjelaskan keadaan musyabbah karena musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui musyabbah bih.
  2. Tasykhish (personifikasi) yaitu penggambaran benda mati menjadi benda hidup seperti bagian bangunan (benda mati) dapat saling memperkuat seolah-olah memiliki tangan dan kekuatan (personifikasi).
Hadis ini mengandung ajaran universal yang menekankan persaudaraan antar muslim karena terikat kesamaan iman. Hadis di atas senada dengan hadis berikut:[13]
صحيح مسلم
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Dalam matan hadis di atas wajah syibh-nya disebut secara jelas, yakni kasih sayang antar orang mukmin. Perumpamaan antar orang-orang mukmin dalam kasih sayang mereka bagaikan sebuah jasad apabila salah satu anggota tubuh ada yang sakit maka anggota tubuh yang lain juga merasakan sakit.
Dari aspek semantik, dua matan hadis di atas terdapat unsur penyerupaan  (tasybih) dengan menggambarkan hubungan antar orang mukmin. Dua hadis tersebut memperkuat petunjuk al-Qur’an surat al-Hujurat : 10
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ  
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, oleh sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Contoh lain penerapan ilmu semantik dalam hadis ialah[14]
صحيح مسلم
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa dunia merupakan penjaranya orang mukmin dan surganya orang kafir. Apabila hadis tersebut difahami secara tekstual tentu pemahamannya selama hidup di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan, karena diibaratkan bagaikan penjara. Kebahagiaan hidup baru bisa dirasakan orang mukmin jika sudah berada di surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir, kehidupan di dunia ialah surga. Di akhirat, orang kafir berada di neraka. Pemahaman semacam itu justru bertentangan dengan ruh ajaran islam yang mengajarkan untuk menjaga keseimbangan hidup di dunia sebagai bekal di akhirat.
Pemahaman yang demikian tersebut sangat wajar karena hanya secara tekstual, tanpa melihat pendekatan makna bahasa (semantik) dalam memahami hadis. Padahal makna hadis tersebut masih memungkinkan dipahami secara kontekstual dengan melalui pendekatan semantik. Pemahaman yang tepat melalui pendekatan semantik ialah kata penjara dalam hadis tersebut menunjukkan adanya perintah berupa kwajiban dan anjuran, disamping adanya larangan berupa hukum haram dan makruh. Bagi orang yang  beriman, kegiatan hidup di dunia ini tidak bebas tanpa batas. Ibarat penghuni penjara, maka hidupnya dibatasi oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir hidup adalah surga sebab dalam menempuh kehidupan, dia bebas dari perintah dan larangan.[15]
  1. Hermeneutika Hadis
Penggunaan perangkat hermeneutika dalam kajian Islam baik al-Qur'an maupun Hadis hingga kini masih diperdebatkan di kalangan pemikir Muslim. Banyak dari mereka menolak secara keseluruhan, sebagian lain menerimanya secara keseluruhan dan sebagian lain menerima atau menolak tidak secara keseluruhan.[16]
Dalam hermeneutika Gadamerian yang digagas oleh Hans Georg Gadamer[17], ketika memahami dan menafsirkan makna sebuah teks atau sebuah fenomena, seseorang tidak serta merta bisa terbebas dari  situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya. Sebuah pemahaman makna sebuah teks senantiasa berada atau terjadi setelah adanya tawar menawar pemaknaan antara pembaca (reader), teks dan realitas. Gadamer menyebut konsep hermeneutiknya ini dengan istilah "peleburan wacana" atau the fution of horizon. Di dalam diri seseorang melebur berbagai tradisi dan wacana sehingga berdampak pada hasil pemaknaan dan penafsiran terhadap suatu teks atau fenomena.[18]
Menurut analisa Muhammad al-Ghazali, hadis harus harus diuji dahulu dengan al-Qur'an. Jika hadis tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur'an secara universal, maka hadis tersebut bisa ditolak dan tidak bisa diamalkan. Kondisi ini dalam aliran hermeneutika Gadamer disebut dengan teori " kesadaran terpengaruh oleh sejarah". Menurut teori ini, pemahaman seorang mufassir atau pensyarah hadis ternyata dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu yang melingkupinya, baik berupa tradisi, kultur maupun pengalaman hidup. Sehingga Gadamer menyarankan apabila seseorang memahami makna sebuah teks maka ia harus bisa mengatasi subyektifitas pribadinya.
Sebagai contoh hadis berikut[19]
صحيح البخاري
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ ، عَنِ الْحَسَنِ ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Artinya: "suatu kaum akan binasa apabila urusan mereka diserahkan kepada wanita." Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa'i dan Ahmad bin Hambal dari Abu Bakrah ini berkualitas hasan shahih dari segi sanad. Secara literal dan tekstual, hadis ini menunjukkan larangan perempuan menjadi pemimpin dalam segala urusan. Namun pemahaman semacam itu bertentangan dengan al-Qur'an surat al-Naml:23 yang mengisahkan Ratu Balqis memerintah kerajaan Saba'iyyah pada masa Nabi Sulaiman. Ratu Balqis ini mengajak rakyatnya kepada keimanan dan kemenangan berdasarkan kebijaksanaannya dan kecerdasannya, sehingga Allah menjadikan negeri yang dipimpinnya menjadi makmur dan sejahtera.
Dalam memahami hadis di atas, Muhammad al-Ghazali menjelaskan sabab al-wurud hadis tersebut. Hadis tersebut disabdakan Nabi terkait peristiwa pergantian pemimpin di kerajaan Persia tahun 9 H yang menganut pemerintahan monarki yang berada di ambang kehancuran. Muhammad al-Ghazali berpendapat hadis tersebut secara spesifik ditujukan kepada Ratu Kisra di Persia, sehingga wanita boleh menjadi kepala negara dengan syarat memiliki kemampuan dalam memimpin.[20]
Sedangkan menurut Syuhudi Ismail cara paling dekat dalam memaknai matan hadis yaitu dengan kajian hermeneutika hadis dengan menekankan pada gramatik bahasa. Dengan menggunakan analisis linguistik ini bisa dipahami dengan melihat bentuk bahasanya. Jika bentuk kata-katanya mengandung maksud dan arti yang luas serta bahasa yang padat (jawami' al-kalim) atau dengan bahasa perumpamaan (tamsil) maka merupakan indikasi bahwa hadis itu memang benar dari Nabi.[21]
  1. Penutup
Berdasarkan pembahasan dan uraian terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Di dalam ilmu semantik diperkenalkan sejumlah teori, di antaranya Teori Referensial, Teori Kontekstual, Toeri Mentalisme, dan Teori Pemakaian Makna. Di antara teori-teori tersebut, maka teori Referensial dan Teori Kontekstual dapat membantu dalam memahami hadis hadis tertentu, terutama Hadis yang berhubungan dengan budaya, sosial, politik, dan kehidupan sosial lainnya. Di dalam menerapkan teori-teori semantik di atas, langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan meneliti dan memahami konteks sosial, budaya, politik, ekonomi dan sistem nilai yang berlaku pada saat lahimya hadis tersebut. Selanjutnya dalam mempertimbangkan perubahan pemahamannya, dipertimbangkan pula hal-hal, seperti perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan sosial budaya, perkembangan pemakaian kata, pertukaran tanggapan indra, dan adanya asosiasi.
 Di antara Hadis-hadis yang memerlukan penggunaan teori semantik dalam memahami makna matannya adalah hadis-hadis yang apabila dihubungkan dengan kondisi sekarang, maknanya tidak jelas atau kurang relevan, sehingga memerlukan pertimbangan terhadap konteks pada masa lahirnya dan selanjutnya konteks masa sekarang sehingga ditemukan makna yang relevan terhadap matan hadis tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Al Bukhori. Shahih Bukhori. Maktabah Syamilah.
al-Ghazali, Muhammad. Al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo:Hadza Dinuna,1989.
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi metode dan pendekatan. Yogyakarta:YPI
Al-Rahmah, 2001.
Al Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah. Maktabah syamilah.
Djajasudarma, Fatimah. Semantik 1. Bandung:Refika Aditama,2009.
Ismail, M.Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang,1994.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, CD softwear.
Muslim, Shahih Muslim. Maktabah Syamilah.
Muzir, Inyiak Ridwan. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008.
Partanto, Pius dkk. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:Arkola.
Rusmaji, Oscar. Aspek-aspek Linguistik.Malang:IKIP Malang,1995.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta:Teras,2008.
Syamsudin, Sahiron. Hermeneutika al-Qur'an dan hadis.Yogyakarta:eLSAQ Press,2010.
Yuslem, Nawir. Kontribusi Teori Semantik Dalam Studi Hadis.


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, CD softwear.
[2] Pius partanto dkk, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:Arkola),700.
[3] Oscar Rusmaji, Aspek-aspek Linguistik (Malang:IKIP Malang,1995),131.
[4] Fatimah Djajasudarma, Semantik 1 (Bandung:Refika Aditama,2009),2.
[5]Fatimah Djajasudarma, Semantik 1 ,39.

[6]Oscar Rusmaji, Aspek-aspek Linguistik,132.
[7]Nawir Yuslem, Kontribusi teori Semantik Dalam Studi Hadis,57.

[8] Muslim, Shohih Muslim, No. 4490, Maktabah Syamilah.
[9] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah,159.
[10] Al Bukhori, Shohih Bukhori,326.Maktabah Syamilah.
[11] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi(Yogyakarta:Teras,2008),176.
[12] Al Bukhori, Shahih Bukhori,289. Maktabah Syamilah.
[13] Muslim, Shahih Muslim,468. Maktabah Syamilah.
[14] Ibid, 205
[15] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi metode dan pendekatan (Yogyakarta:YPI Al- Rahmah,2001),66.
[16] Sahiron Syamsudin, Hermeneutika al-Qur'an dan hadis (Yogyakarta:eLSAQ Press,2010)
[17] Hermeneutika Gadamer merupakan aliran hermeneutika yang sangat berpengaruh sejak separoh kedua abad 20 M.
[18]  Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2008), 238-244.
[19] Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Maktabah Syamilah),70.
[20] Muhammad al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo:Hadza Dinuna,1989),73-76.
[21] M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang,1994),13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar