KRITIK
MATAN DALAM BINGKAI SEJARAH
A. Pendahuluan
Kedudukan Nabi sebagai public figur, terbuka asumsi untuk
disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Loyalitas berkadar
semu bias mewarnai sikap sebagian sahabat beliau. Demikian pula setiap
informasi mengenai tahapan pembinaan syariah versi hadits (sunnah), kebijakan
kepemimpinan dan pilihan sikap pribadi dalam menjalani kehidupan, tak luput
dari reaksi umat buat mengkritisinya.
Gerak dinamikan sosialisasi ajaran sesuai kondisi umat generasi awal
Islam selepas wafat Nabi saw yang secar berantai membentuk sunnah bermuara pada
optimalisasi pelestarian segala keteladanan yang dinisbahkan Rasulullah saw.
Ketika dihadapkan pada keharusan tranformasi pengamatan perorangan sahabat
perihal pengalaman keagamaan mengikuti bimbingan Rasulullah saw secara langsung
atau lewat perantara perawi rimer, terjadi keragaman segi kuantitas dan kualitas.
Segi kuantitas dipengaruhi oleh kadar kedekatan pribadi dan besaran waktu
menyerti liku-liku kehidupan Nabi Muhammad saw, sementara segi kualitas
pemberitaan,pola narai verbal, ketajaman pesepsi dan sejenisnya ditentukan oleh
strata kognitif dan kadar intelektualitas masing-masing sahabat.
Kesenjangan yang amat mengganggu proses verifikasi ketuhanan, keaslian
dan kadar kebenaran berita kehadisan yang diriwayakan oleh para sahabat maupun
tabi’in, tetap terbawa serta saat kemudian dihasilkan ratusan kutub
al-Hadits yang diproses dokumentasinya terpisah lokasi dankurun waktu
penyeleksiannya oleh perorangan sejkian banyak ulama kolektor hadita. Proses
kesejarahan berikut fakta kesenjangan kuanitas dan kualitas serta format narasi
verbal setiap unit hadits, merupakan factor perluasan kritik hadits oleh
kalangan muhadditsin. Sasaran objek kritik tidak hanya terfokus pada inti
pemberitaan hadis (matan dan redaksinya), tetapi mengembang kearah uji
kredibilitas dan integritas keagamaan
para perawi informatornya (kritik sanad).
Dalam sejarahnya kritik matan hadis sungguh sangat disayangkan apabila terjadi dimasa
Rasulullah masih hidup, karena sumber berita masih dapat dimintai keterangannya
secara langsung apakah berita yang dikabarkan
oleh seseorang itu benar
kenyataannya dengan perkataan Rasulullah, dari sinilah benih-benih kritik matan
mulai diperhatikan oleh para sahabat mngingat apa yang dikatakn oleh
Rasululllah akan menjadi pedoman hidup umat manusia.
Mengingat pentingnya memperhatikan redaksi-redaksi hadits yang sejak
awal memang sudah terjadi penyalah gunaan oleh seseorang maka disini para
sahabat menerapkan metode-motede yang sangat ketat agar keotentitasan sebuah
berita dari Rasulullah bisa terjaga dengan baik.
Dalam masa kepemimpinan para khulafaurrasidin
(terutama pada masa khalifah Abu Bakar,Umar, dan Usman) perhatian terhadap
matan hadits ini masih bisa di bilang belum begitu rumit,namun pasca
terbunuhnya Khalifah Usman perpecahan-perpecahan dikalangan umat islam tidak
bisa di hindarkan lagi hal ini terjadi karena masing-masing kelompok
menggunakan hadits sebagai alat untuk membela kelompoknya masing-masing untuk
mendapatkan dukungan dari para pengikutnya.
Peristiwa perpecahan yang terjadi itu kemudian menyisakan pekerjaan
berat bagi muhaddisin untuk menentukan hadits manakah yang ierima dan ditolak, dengan maraknyna pnyimpangan
penyimpangan yang mengatasnamakan hadits,para muhadisin menyusun
langkah-langkah yang lebih ketat yang bukan hanya menliti tentang beritanya
saja namun darimana sumber itu didapat agar nantinya hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
B. Pengertian Kritik Hadits
Kata kritik dalam bahasa Arab lazim diterjemahkan dengan
“Al-Naqd”[1].
Kata kritik sebenarnya bahasa serapan yang berasal dari bahasa latin. Kritik
itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[2]
Naqd dalam bahasa Arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan
dan pembedaan.[3]
Salinan arti naqd dengan pembedaan, kiranya bertemu sesuai dengan judul
karya Imam Muslim, Ibn Hajaj (w. 261 H) yang membahas kritik hadits, yakni
kitab al-Tamyiz. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indoneesia,
kata “kritik” berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam
penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[4]. Kata Sedangkan dalam Lisanul Arabi bermakna tamyiz
(membedakan).[5]
Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa diartikan
sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah
(tiruan/palsu).
Sedangkan menurut istilah kritik hadits bermakna sebagai berikut:
Menurut Ibnu Abi Hatim al-Razi (w.327 H) sebagaimana dikutip oleh
M.M. al-A’Zhami adalah:
تمييز
الاحاديث الصحيحة من الضعيفة و الحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
“Upaya
menyeleksi (,membedakan) antara hadits shahih dan dha’if dan menetapkan status
perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat”.[6]
Sedang sebagai sebuah disiplin ilmu kritik hadits adalah:[7]
الحكم
على الرواة تجريحا وتعديلا بألفاظ خاصة ذات دلائل معلومه عند أهله و النظرمتون
الاحاديث التى صح سنده لتصحيحها او تضعيفها ولرفع الأشكال عما بدا مشكلا من صحيحها
ودفع التعارض بينها يتطبيق مقاييس دقيقه.
“Penetapan status cacat atau ‘adil pada peawi hadits dengan
mempergiunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para
ahlinya dan mencermati matan-matan hadits sepanjang shahis sanadnya untuk
tujuan mengakui validitas atau menilai lemah dan upaya menyingkap kemusykilan
pada matan hadits yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan
dengan mengaplikjasikan tolak ukur yang detail”.
Menurut Dr.Umi Sumbulah M.Ag,
istilah kritik matan hadts,dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan
matan hadits, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang
shahih dan yang tidak shahih.[8]
Bercermin pada perumusan kritik hadits pendefinisi di atas, maka
hakikat kritik hadits bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran
sabda Rasulullah saw, karena otoritas nubuwah dan penerima mandat risalah
dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma (baca: ma’shum), tetapi
sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji
kejujuran informatornya. Teks redaksi matan hadits tentu membawa serta perawi
selaku perekam fakta kesejarahan masa lampau terposisikan sebagai sumber
primer. Sedang kaitan yang mendokumentasikan fakta kehaditsan berbentuk kutub
al-hadits merupakan sumber sekunder. Demikian ini bila ditinjau dari tradisi
kritik sejarah.
Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis
secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk
komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik
hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan amat
berhubungan dengan taraf intelektualitas perawi hadis dan bayang-bayang bias
informasi sebagai implikasi daya berfantasi dan kreasi berfikir saat mengamati
dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain. Sangat mungkin terjadi, perawi
tidak hadir pada saat fakta kehadisan berlangsung. Seperti penuturana Abu
Hurairah (w. 56 H) bahwa Rasulullah saw bersabda: ولد الزنا
الثلاثة.[9]
Persepsi yang segera terlintas
adalah anak yang lahir dari hubungan perzinahan harus memikul dosa pada
giliran ketiga sesudah pasangan zina wanita yang melahirkannya. Sekira Abu
Hurairah mengikuti alur pembicaraan Rasulullah saw sejak awal, tentu komposisi
matan haditsnya terbentuk utuh, yaitu orang munafik, sang provokator itu,
ternyata pribadi yang terlahir tanpa bapak, sebab hubungan zina telah menandai
wanita lajang
yang melahirkannya.[10]
C. Sejarah perkembangan kritik matan
a.
Kritik Hadits Dimasa Nabi Saw
Tradisi kritik atas pemberitaan hadis telah
terjadi sejak pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Motif kritik pemberitaan hadis
bercorak konfirmasi, klarifikasi dan upaya memperoleh testimony yang target
akhirnya menguji validitas keterpercayaan berita (al-istitsaq). Kritik
bermotivasi konfirmasi, yakni upaya menjaga kebenaran dan keabsahan berita,
antara lain terbaca pada kronologikejadian yang diriwayatkan oleh Abu buraidah
tentang seorang pria yang tertolak pinangannya untuk mempersunting wanita Banu
Laits. Lokasi pemukiman kabilah itu kurang lebih 1 mil dari Madinah. Ia tampil
berbusana kostum dimana potongan, warna dasar, dan ciri-ciri lain yang
benar-benar mirip busana keseharian nabi saw. Kedatangan pria itu, seperti
pengakuannya, membawa pesan dari nabi Muhammad saw untuk singgah dirumah
siapapun yang dalam versi riwayat lain untuk membuat perhitungan hukum sendiri.
Ternyata pilihan rumah jatuh pada kediaman orang tua gadis yang ia gagal
meminangnya. Segera warga kabilah Banu
Laits mengirim kurir agar menemui Nabi saw dengan tujuan untuk konfirmasi atas
pengakuan sepihak pemuda tersebut. Secepat berita itu sampai pada Nabi Saw,
beliau langsung menugasi Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab untuk .menangkap pria
itu – ternyata ia seorang munafik- dan menjatuhkan hukuman (bunuh) di tempat.[11]
Kritik bermotif klarifikasi (tabãyun)
yakni penyelarasan dan mencari penjelasan lebih konkret, antara lain seperti
menyangkkut laporan Walid bin Uqbah yang ditugasi oleh Nabi Saw sebagai ‘amil
shadaqoh terhadap warga muslim Banu Mushthaliq. Walid yang pada masa lalu
pernah terlibat dalam kasus (pembunuhan) dengan korban warga Banu Mushthaliq larut
terbawa halusinasi bayangan balas dendam dari mereka. Membaca gelagat
penyambutan adat kabilah dengan persenjataan lengkap, semakin mengentalkan
halusinasi tersebut. Walid selanjutnya merekayasa laporan bahwa ternyata warga
Banu Mushthaliq telah memasng perangkap
untuk membuuh setiap petugas zakat yang kirim oleh Rasulullah saw. Seperti
tersurat pada redaksi surat
al-Hujurat: 6, Rasulullah saw nyaris percaya pada laporan Walid untuk
klrifikasi dan ternyata tidak demikian halnya.[12]
Peristiwa tabayun tersebut muncul dalam format sabab al-nuzul dibanyak
kitab tafsir untuk ayat di atas.
Motif kritik lain menyerupai upaya testimoni yakni mengusahakan
kesaksian dan pembuktian atas sesuatu yang tersinyalir diperkuat oleh Nabi Saw seperti
keseriusan Umar bin Khattab menjumpai Nabi Saw selepas jama’ah shalat shubuh,
begitu mendengar berita dari tetangga dekat rumahnya Nabi Saw telah menjatuhkan
thalaq kesemua istri beliau.[13]
Testimony yang langsung diperoleh dari pengakuan Nabi Saw, ternyata beliau
hanya menjatuhkan ila’ (tekad tidak meniduri isteri-isteri yang ada dengan
ikrar di bawah sumpah) untuk limit satu bulan qamariah.
Motif kritik pemberitaan (matan hadits) untuk tujuan esensi faktanya
dilaksanakan dengan teknik investigasi (penyelidikan) dilokasi kejadian,
bertemu langsung dengan subjek narasumber berita serta melibatkan peran aktif
pribadi nabi/Rasul Saw. Konfigurasi kritik pemberitaan terarah pada esensi
matan hadis, kiranya cukup menjadi bukti sejarah betapa di masa hidup Nabi Saw
telah berlangsung tradisi kritik hadits yang paling intens dan kadar
validitasnya terjamin objektif. Lebih penting lagi, tradisi itu secara jelas
memeproleh dukungan dari Rasulullah Saw.
b. Kritik Hadis pada Periode Sahabat
Proses tranfer (pengoperan) informasi hadis dikalangan sesama
sahabat Nabi Saw cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan.
Kondisi daya ingat, ketepatan persepsi dalam menguasai fakta kehadisan dimasa
hidup Nabi dan faktor gangguan indera mata itu saja yang perlu dicermati
dampaknya antara sesama sahabat tidak terpantau kecenderungan mencurigai kedustaan,
baik dalam memberitakan sendiri informasi hadis atau yang berasal dari sahabat
lain. Latar belakang tersebut kiranya yang mendasari Imam Syafi’i (w. 204) bersikap optimis untuk mendukung
kehujjahan hadis mursal shahabi, utamanya yang melibatkan sahabat senior.[14]
Kadar integritas keagamaan (al-‘adalah) segenap sahabat nabi Saw,
termasuk mereka yang terlibat langsung dalam fitnah (tragedy koonfli
kepentingan politik) telah memperoleh legitimasi sampai ketaraf ijmak. Proses
konsensus bermula dari pemekaran atas kata ummah pada penegasan surat al-Baqarah: 143 dan Ali ‘Imron: 10 serta spesifikasi
kelompok manusia yang disifati dalam al-Qur’an dengan alladziina ma’ahu pada
penyataan surat
al-Fath: 29, oleh seluruh mufassirin direpresentasikan segenap sahabat Nabi
Saw.[15]
Selebihnya berkat pengembangan petunjuk hadits:
من
ابى سعيد الخدرى قال النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم: لاتسبّوا أصحابى فو الّذى نفسى
بيده لو أن احدكم انفق مثل احد ذهبا ماادرك مد أحدهم ولا نصيفه (متفق عليه)
“Dari
Sa’id al-Khudry, Nabi bersabda: janganlah kalian mencerca sahabat-sahabatku;
maka demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh sekiranya
seorang diantara kalian membelanjakan emas setara bukit Uhud, niscaya kalian
tidak mampu meyamai seukuran sau mus maupun separuhnya” (Mutafaqun ‘alaihi). [16]
Dengan demikian sarana uji kredibilitas perawi sahabatnya dalam
mekanisme kritik hadis selama periode kehidupan mereka (hingga selepas
kepemimpianan Khulafa al-Rasyidin) tidak menyentuh aspek al-‘adalah, melainkan
cukup mengarah pada akurasi kedhabitan semata. Gejala mengefektifkan uji
ketersambungan sanad riwayat juga belum terlihat. Kondisi itu disebabkan jarak
transmisi hadi umumnya hanya seorang dan paling banyak 2 orang dari sesama sahabat yang terkenal ‘adalah
dan kejujurannya.
Kesalahan tidak disengaja, salah mempersepsi fakta dan kekeliruan bentuk
lain karena gangguan indera pengamatan adalah hal yang manusiawi dan mereka
bukan pribadi ma’shum. Faktor luar yang diduga memperbesar kelemahan tersebut
adalah: kelangkaan naskah penghimpun notasi hadits, kurang tersosialisasi
aktifitas pencatatan hadiits dan ekses dari penyaduran.
Sekala kesalahan dalam proses pemberitaan hadis pada periode sahabat
cepat terlokalisir dan tereleminir, karena adanya tradisi saling menegur dan
mengi ngatkan. Kritik terhadap peberitaan esensi matan antar sahabat mengambil
bentuk polemic terbuka. Begitu terdengar pemberitaan hadits yang mencerminkan
bias informasi, segera sahabat yang lebih tau duduk persoalannya menanggapi
langsung dan meluruskannya. Langkah metodologis kririk esensi pemberitaan itu
oleh Badrudin al-Zarkasyi (w. 749 H) disebut istidrak [17]
atau upaya perbaikan kesalahan. Pilihan istilah istidrak ini amat relevan
karena momentum ralat atas kesalahan itu menyusul kemudian. Apalgi dicermati
pendekatan teknmisnya ada kecenderungan mengarah pada format interpretasi (al-istifsar),
yakni mencari kejelasan pemberitaan esensi hadis yang factual.
Pada periode sahabat menurut pengamatan al-Hakim (w. 405 H) dan
al-Dzahabi (w. 748 H) adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H) sebagai tokoh
perintis pemberlakuan uji kebenaran informasi hadis.[18]
Motif utama penerapan kritik hadis adalah dalamrangka melindungijangan sampai
terjadi kedustaan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw. Motif seperti ini
terungkap pada pernyataan Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari: “saya
sesungguhnya tidak mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir orang (dengan
seenaknya) memperkatakan sesuatu (baca: mengatasnamakan) pada Rasulullah) pada
Rasulullah Saw”.
Kaidah kritik lebih tertuju pada uji kebenaran bahwa Rasulullah Saw
jelas –jelas meninformasikan hadis itu prosedurnya mencerminkan upaya
memperoleh hasil dari perujukan silang kyang saling membenarkan terhadap fakta
kehadisan sebagaimana diberitakan oleh sahabat tertentu. Pola perujukan silang
berintikan muqarnah atau perbandingan antar riwayat dn sesame sahabat. Pola
muaranah antar riwayat ini kelak menyerupai praktek I’tibar guna mendapatkan
data syahid al-hadits agar asumsi kemandirian sahabat periwayat hadis bisa
dibuktikan. Syahid al-hadits adalah
periwyatan serupa isi matan hadis, mungkin ada kemiripan struktur kalimatnya
dan mungkin hanya semakna saja, oleh sahabat lain yang dapat disejajarkan
sebagai riwayat pendukung. Cara yang dilakukan cukup meminta agar shaat
periwayat hadits berhasil mendatangkan perorangan sahabat lain yang memberi
kesaksian atas kebenaran hadits nabawi yang ia beritakan. Langkah metodologis
tersebut berkesan seakan-akan kalangan sahabat tidak bersedia menerima
informasi hadis kecuali dibuktikan oleh kesaksian minimal 2 (dua) orang yang
sama-sama menerima hadis tersebut dari rasulullah Saw.[19]
Pemberlakuan metode kitik internal hadis seperti contoh diatas lebih
diorientasikan sebagai peletakan disiplin bagaimana prosedur penerimaan setiap
informasi yang diasosiasikan kepada nabi Saw harus ditegakkan dan umat islam
tidak boleh terburu-buru mempercayai pemberitaan seperti itu. Akan tetapi norma
kritik itu tidak mutlak harus diberlakukan; sebab dalam batas tidak ada
keraguan, betapa substansi matan hadisnya mengenai materihukum yan g berdampak
jauh, terjadi sikap penerimaan periwayatan sahabat tunggal tanpa menuntut
dukungan kesaksian. Misalnya:
1)
Ali bin
Abi thalib segera mempercayai penjelasan hadis Nabi tentang shalat taubah yang
disampaikan oleh Abu Bakkar al-Shiddiq
2)
Khalifah
Umar bin Khattab menerima saran Abdurrahman bin ‘Auf perihal petunjuk nabi Saw
dalam rangka mengantisipasi wabah penyakit yang yang melanda daerah npemusatan
angkatan perang islam
3)
Usman bin
‘Afan menerima pemberitaan Fura’iah binti Malik perihal mantan istri ber-‘iddah
karena kematian suami dirumah duka.
Tradisi kritik sensi matan hadisdilingkungan sahabat selain
menerapkan kaidah muqaranah antar riwayatseperti contoh-contoh di atas, berlaku
juga kaidah mu’aradhah. Namun skala penerapan metode mu’arahlah pada periode
sahabat belum sepesat periode berikutnya, tabi’in.[20]
metode mu’aradhah intinya adalah konsep pencocokan konsep yang menjadi muatan
pokok setiap matan hadis, agar tetap erpelihara kebertauutan dan keselarasan
antar konsep dengan hadis (sunnah) lain dan dengan dalil syari’ah yang lain.
Langkah pencocokan itu juga dilakukan dengan peunjuk eksplisit al-Qur’an
(dzahir al-Qur’an), pengetahuan kesejarahan (sirah nabawiyah) dan dengan
;penalaran akal sehat. Langkah metodologis mu’aradhah serpa dengan critical
approarch pada penelitian pemikiran tokoh. Konsep dan seluruh aspek pemikiran
tokoh dianalisis sevara tepat dan mendalam keselarasannya atu sama lain.[21]Dari
pola analisis tersebut didapat koherensi intern atau pertautan antar narasi
pemiki0ran tokoh yng diteliti.
Uji kecocokan hadisdengan petunjuk eksplist al-Qur’an, mislnya
pengkuan pribadu Fatimah binti Qais al-Quraysyiyah, bahwa ketika dirinya
dinyatakan jatuh thalaq ba’in oleh suaminya, Rasulullah saw tidak memberikan
fasilitas nafaqahk maupun tempat kediamanatas beban suaminya selama menjalani
masa ‘iddah (HR. muslim dan Abu Dawud).[22]
Kkhalifah Umar bin khattab menolak pengakuan tersebut yang diasosiasikan kepada
nabi Saw, karena menurut keyakinan pribadinya, informasi hadis tersebut
ternyata bertentangan dengan petunjuk eksplisit al-Qur’an seperti terbaca pada surat al-Thalaq: 49 dan
51. saat itu Umar bin Khatab menyatakan sikapnya:
قال عمر الخطاب: لانترك كتاب ربنا لقول امرأة
لعلها حفظت او نسيت.
( اخرجه مسلم وابو داود)
“kami tidak akan mengabalikan 9kertentuan)
kitab suci Tuhan, kami hanya karena ucapan seorang waniita yang mungkin ingat
atau lupa”. (HR.
Muslim dan Abi Dawud)
Ketika dilakukan mverifikasi data pada subjek Fathimah binti Qais,
ternyata yang bersangkutan bermula mohon perkenan kepada nabi Saw untuk tidak
tinggal di rumah keluarga suami selama menjalani masa iddah, dengan
pertimbangan dilokasi perkampungan eks suami banyak bekeliaran binatang buas.
Seperti terungkap pada koleksi al-Bukhary dan Ibnu Majah serta Abu Dawud.[23]Jadi
pengakuan Fatimah binti Qais itu ekses dari persepsi pribadinya bahwa
persetujuan nabi Saw itu mengisyaratkan tidak adanya fasilitas nafaqah dan
tempat tiggal selama ‘iddah pasca thalaq ba’in yang menimpa dirinya.[24]
Penerapan metode mu’aradhah dengan sesame hadis (sunnah) seperti
pengutipan hadis oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda:
من ادركه الفجر جنبا فلا يصم
“Siapa memasuki waktu
shubuh dalam keadaan junub (hadas besar) maka jangan berpuasa”. [25]
Ketika informasi itu terdngar oleh kedua Umm al-Mu’minin, A’isyah
dan Ummu Salamah, terjadi reaksi penolakan karena keduanya menyaksikan betapa
Nabi Saw berulangkali masih dalam kondisi janabah (hadats besar) hingga masuk
waktu shubuh dimana paginya beliau bepuasa.[26]Atas
kesaksian kedua isteri nabi Saw itu Abu Hurairah mengakui kelabihan pengetahuan
mereka dalam berterus terang mengungkap bahwa informasi itu tak ia terima
langsung dari Nabi Saw melainkan diperoleh dari Fadhal bin Abbas.
Pada periode sahabat juga telah diterima mu’aradhah hadis dan
mencocokkanya dengan penalaran akal sehat. Seperti teramati pada reaksi spontan
A‘isyah, Abdullah bin Mas’ud dan Abullah bin Abbas ketika mereka mendengar Abu
Hurairah menyitir hadis:
من غسل الميّت فليغتسل ومن حملها فليتوضأ
“Siapa telah selesai memandikan mayat,
harap mandi (sesudahnya) dan siapa yang memikul keranda jenazah, harap ia
berwudlu”. (HR.
Abu Dawud)[27]
Polemik yang muncul kemudian bernada mempertanyakan: najisnya
mayat-mayat orang islam? Beban hukum apakah yang berlaku bagi orang yang
memikul kayu? Betapa kita memikul kayu dalam keadaan basahpun tidak wajib
mandi. Obyek kayu dalam polemik itu dibuat padanan, karena keranda jenazah masa
itu biasa terbikin dari bahan kayu. Pertanyaan A’isyah perihal najis tidaknya
mayat manusia, bisa jadi merujuk pada pertanyaan Nabi Saw bahwa: “orang mukmin
itu najis mayatnya” (HR. Baihaqi).[28]
Melalui metode mu’aradhah terungkap bahwa pemberitaan itu bukan
benar-benar hadis, melainkan fatwa atas pertimbangan istihsan yang formulasinya
sebatas anjuran mandi pasca memandikan mayat.
c. Kritik Hadis pada
Periode Muhadditsin
Integritas
keagamaan pembawa berita hadis mulai diteliti terhitung sejak terjadi fitnah,
yakni peistiwa khalifah Usman bin Affan terbunuh berlanjut dengan
kejadian-kejadian lain sudahnya. Fitnah tersebut menimbulkan pertentangan yang
tajam dibidang politik dan pemikiran keagamaan keutuhan umat Islam pun
terpecah; sebagian mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan
gelombang berikutnya, Mu’tazilah.[29]Pemuka
aliran sectarian itu memanfaatkan institusi hadis sebagai propaganda dan upaya
membentuk opini umat dengan cara membuat hadis-hadis palsu.
Fakta pemalsuan itu membangkitkan kesadaran muhadisin untuk
melembagakan sanad sebagai alat control periwayatan hadits skaligus mencermati
kecenderungan sikap keagamaan dan politik orang-perorang yang menjadi
matarantai riwayat itu. Seperti duiungkap oleh Ibnu Sirrin (w. 110 H): “semula
umat tidak mpertanyakan sanad hadis, tetapi begitu terjadi fitnah muncul,
tuntutan agar setiap penyaji hadis mnyebut dengan jelas nama orang-orang
pembawa berita hadis itu”. [30]
pernyataan Ibnu Sirrin menempatkan sebab utama pelembagaan sanad sebagai
antisipasi terhadap maraknya pemalsuan hadis, di samping perhatian terhadap
jalur asal-usul berita hadis.
Upaya mewaspadai hadis dari gejala pemalsuan dengan mengefektifkan
peran sanad dan mencermati integritas keagamaan periwayat telah berlangsung
pada periode kehidupan sahabat kecil yakni mereka yang masih berada di
tengah-tengah umat hingga sekita tahun 70-80 Hijriyah; demikian pula periode
tabi’in senior,[31]Ibrahim
al-Nakh’i (w. 96 H), masa mulainya orang mempertanyakan sanad untuk setiap
hadis bertepatan dengan periode kehidupan Mukhtar bin Abi Ubaid al-Saqafi (w.
67 H).[32]
Walau demikian, pelembagaan sanad belum menjadi keharusan, terbukti di kalangan
tabi’in masih banyak periwayatan hadis
dengan cara mursal, yakni tidak menyertakan dengan jelas melalui sahabat
manakah hadis itu diperoleh riwayatnya . Baru pada pertengahan abad kedua
hijriah, keberadaan sanad merupaan suatu keharusan dan tanpa sanad merupakan
suatu keharusan dan tanpa sanad maka terjadi penolakan terhadap hadis besangkutan.[33]
Dalam rangka mengimbangi pelembagaan sanad, maka
lahirlah kegiatan jarh-ta’dil (mencermati kecacatan pribadi perawi dan
keterpujiannya). Biodata pribadi periwayat hadis yang
ditelusuri meliputi: data kelahiran dan wafatnya; tempat tinggal; mobilitas
dalam studi hadis; nama guru dan murid yang di asuh; penilaian kritikus tentang
integritas keagamaan atau indikasi tersangkut faham bid’ah, kadar ketahanan
hafalan dan bukti pemilikan notasi hadis dan penetapan peringkat (thabaqah) profesi
kehadisannya. Kegiatan jarh-ta’dil menurut pengamatan al-Dzahabi (w. 748H)
telah melibatkan 715 kritikus.[34]
Data itu cukup mengisyaratkan betapa pemalsuan hadis tak terbendung
dan berlangsung dalam waku yang lama (21 geneasi) serta bertepat di banyak daerah.
Sekalipun kitik sanad telah memperoleh perhatian besar dikalangan muhaddisin
generasi tabi’in, bukan berarti tradisi kritik mata dihentikan, bahkan
penerapan metode mu’aradhah (pencocokan) semakin diperluas jangkauannya.
Sebagai bukti ketika Kuraib (seorang murid Ibnu Abbas) membawakan hadis tentang
pembetulan posisi berdiri Abdullah bin Abbas berada di samping Nabi Saw saat
makmum shalat malam dirumah kediaman Maimunah, menurut penuturan Imam Muslim
bin al-Hajaj (w. 261 H) dalam al-Tamyiz telah diupayakan uji kebenaran
isi redaksi matannya dengan melibatkan 4 orang murid kuraib dan 9 murid hadis
Ibnu Abbas yang sebaya/seangkatan masa belajarnya dengan Kuraib.[35]
Dari cara mu’aradhah ini diperoleh kepastian bahwa Nabi Saw
memposisikan sikap bediri Inu Abbas selaku makmum tunggal disamping kanan badan
nabi Saw. Dengan hasil akhir sperti itu, ungkapan matan yang melalui Yazid bin
Ali Zinad dari Kuraib diyatakan lemah. Demikian pula kritik asal makna (konsep
ajaran) yang dikandung matan hadis makin bervariasi kaidah yang diterapkan,
sehingga muncul penilaian betapa rumitnya kaidah kritik matan itu.[36]
Perkembangan metode kritik hadis bergerak mengikuti spesialisasi
keilmuan dan kecenderungan perhatian perhatian pemikir keagamaan para
kritikusnya. Ulama yang menekuni keahlian bahasa menermati dan memperbandingkan
bahasa, uslub (gaya
bahasa) teks matan hadis yang besifat qauly dengan ukuran bahasa tutur Nabi Saw
dalam komunikasi sehari-hari yang dikenal amat fasih. Ulama hadis dengan
spesialisasi pendalaman konsep doktrinal hadis memperbandingkannya dengan
konsep kandungan sesama hadis (sunnah) dan dengan al-Qur’an. Ulama yang menaruh
perhatian pada sector istinbath (penyimpulan deduktif) terhadap kandungan
materi hukum, hikmah dan nilai keteladanan dalam hadis, mengarahkan
penelitiannya pada nisbah ungkapan pada narasumber hadis.
Penelitian serupa terarah pada uji keutuhan, keaslian dan kebenaran
komposisi teks matan hadis. Kritik oleh muhaddisin yang membidangi aqidah dan
mutakallimin terfokus pada hadis bermateri sifat-sifat Allah dan materi alam
ghaib dengan kaidah menyikapi gejala kemusykilan. Muhaddisin yang sekaligus
juga fuqaha, mencermati hadis dari segi pembinaan dan penerapan syari’at
(aplikasi normatif). Kritikus hadis generasi mutakhir sibuk merespon sikap
keragu-raguan dalam memahami dan mengoperasionalkan ajaran hadis berhubung
dinamika pengetahuan dan teknologi serta kecenderungan bersikap kritis
pragmatis umat masa kini.[37]
Kritkus akademisi merespon orientalis yang menghembuskan keraguan ilmiah hadis.
Dalam tahapan perkembangan metode kritik dan wilayah pemusatan
aplikasi kaidahnya tampak kecenderungan umum menguji mutu matan hadis dan uji
kondisi sanad saling dikaitkan. Bahkan terjelma semacam knsensus dilingkungan
muhaddisin bahwa kritik sanad merupakan prasyarat bagi kelayakan untuk ditindak
lanjuti dengan kritik matan hadis.[38]
Apabila pada periode sahabat kritik hadis dilakukan semata-mata guna memperoleh
kemampuan pemberitaan, maka pada pasca fitnah, segala langkah metodologis
kritik sanad dan matan .diorientasikan
pada maksud tujuan pemikiran maqbul (diterima sebagai hujjah
D. Metodologi Para
Ahli Hadits Dalam Terciptanya Kritik Matan
Metodologi
yang diterapkan oleh masing-masing ulama berbeda menurut situasi dan kondisi
yang dibutuhkan pada saat itu.
Seperti yang diterapkan oleh para sahabat misalnya dengan menerapkan
metode muqaranah (perbandindingan) antar riwayat dari sesama sahabat dengan
persaksian minimal dua orang d juga menerapkan metode muaradlah (perlawanan)
yaitu matan-matan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi ini berlawanan
dengan dhahir al-qur’an, siroh
nabawiyah,dan dengan penalaran akal sehat.[39]
Sedangkan menurut Adlahabi bahwa sebuah matan hadits bisa dikatakan
sahih apabila tidak bertentangan dengan al-qur’an, tidak bertentangan dengan
hadits rasulullah yang memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi,tidak
bertentangan dengan akal,indera dan sejarah serta menunjukkan ciri-ciri sabda
rasulullah jika diteliti secara redaksional. Lain halnya dengan al-Baghdadi,
yang menyatakan bahwa sebuah hadits tidak dikatakan shahih bila bertentangan
dengan rasio,ayat al-qur’an yang telah muhkam,hadits mutawatir,amaliah ulama,
salaf yang telah disepakati,serta hadits ahad yang bobot akurasinya lebih kuat.[40]
Perbedaan Metodologi Antara Muhaddisin dan Fuqoha’
1.
Muhaddisin
amat ketat menyikapi gejala ‘illat hadis, bukan hanya ‘illat qadihah
(merusak) citra matan, tetapi juga gejala ‘illat khafifah (ringan) juga
dipandang menjadi sebab status ke-dha’if-an hadis. Misalnya, temuan data me-mursal-kan
hadis yang kalangan perawi tsiqah (kepercayaan) dan dhabith
memusnadkannya. Temuan data tersebut tergolong ‘illat khafifah, tetapi
bagi muhaddisin cukup memadai untuk men-dhaif-kannya. Fuqaha’ dan
ushuliyyun bersikap pemisif dan mentolelir ‘illat tersebut.
2.
Muhaddisin
sangat peduli dengan uji ketersambungan sanad (ittishad) dan seluruh
periwayat dipersyaratkan harus jelas personalianya dan dikenal luas kepribadian
maupun profesi kehadisannnya. Keterputusan sanad (mursal, munqathi’, mu’dhal),
perawi yang anonim (majhul al-‘ain) atau minus pengakuan perihal
keahlian hadisnya (mastur al-hal) merupakan tanda ke-dhaif-an yang
sangat mendasar. Fuqaha’ dan ushuliyyun justru bersedia
mangamalkan hadis mursal sekalipun versi teminologisnya berbeda dengan
versi muhaddisin, melembagakan atsar (hadis mawquf), ‘amal al-
shahabah (hukum kebiasaan yang hidup dan dihormati oleh generasi sahabat)
dan sirah mereka. Bahkan disinyalir bahwa ‘amal ahl al-madinah
lebih diunggulkan dari pada potensi kehujjahan sunnah nabawiyah di kalangan
fuqaha’ madzhab Maliki.[41]
Fuqaha’ lebih interes pada uji kuantitas periwayat guna mengukur data tawatur-ahad-nya
hadis dan qathi’iy-zhanniy-nya dalalah.
3.
Muhaddisin
bersikap peka terhadap kecacatan kepribadian perawi dari segi integritas
keagamaan seperti indikasi keterlibatan pada faham bid’ah. Demikian juga bila
dicurigai memalsukan hadis, atau tidak cermat dalam membawakan hadis lantaran
buruk ingatan dan ketahuan banyak salah pada penyajian teks matannya. Fuqaha’
dan ushulyun lebih tertarik menyoroti data konsistensi perilaku
periwayat diperhadapkan dengan muatan doktrin hadis yang ia bertindak sebagai
periwayatnya. Konsistensi periwayat oleh mereka dipandang sebagai cermin daya
keberlakuan ajaran hadis yang ia riwayatkan.
4.
Data
temuan tambahan informasi pada matan hadis hanya akan diperhitungkan manakala
subyek yang bertanggung jawab atas data tambahan informasi itu periwayat yang
menurut muhaddisin betul-betul tergolong tsiqah. Tambahan informasi pada
matan itu dianalisis dampaknya pada hadis lain yang sama-sama bermutu sahih,
yakni diterima bila tidak menafikan subtansi matan hadis lain yang sahih atau
berfungsi menafsirkan.[42]
Data temuan tersebut dikenal dengan ziyadah tsiqah. Sikap fuqaha’
menurut pengamatan Khatib al-Baghdadi (w.436 h) sangat toleran dan lunak dalam
merespon data ziyadah tersebut.[43]
5.
Bertolah
dari paradigama kebenaran al-Quran karena terjamin oleh sifat tawatur
dan pengakuan umat atas dokumentasi mushafnya, maka kedudukan al-Quran sebagai
dalil hukum syara’ adalah qathiy (pasti dan menyakinkan). Konsekuensinya
setiap informasi hadis (sunah) harus mempertahankan rumusan konsep Al-Quran dan
berhenti pada liminitas hukumnya. Karenanya, informasi matan hadis yang
melampaui rumusan hukum atau liminitas al-Quran dikategorikan al-ziyadah ‘ala
al-nashsh. Muhaddisin utamanya yang berafiliasi Malikiah, Syafi’iyah dan
Hambaliah memandang informasi tambahan atas nash al-Quran lebih memantapkan
keberadaan konsep hukum al-Quran dan mengakomodir hal lain yang berfungsi
komplementer baginya.[44]
Fuqaha’ berafiliasi Hanafiah menganggap tambahan atas nash itu identik
dengan nasakh. Perbedaan pola kritik tersebut memunculkan formula
deduksi hukum yang berbeda sangat mencolok pada hadis bertema: zakat fitrah,
menyapu khuf pengganti mencuci kedua kaki dalam berwudhu, istinja’
memanfaatkan batu, kafarah bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan bagi
yang terbebani kewajiban berpuasa, fasakh ihram haji menjadi ihram
‘umrah,, hukum qiradh, hukum salam, sanksi rajam pada pelaku zina yang
berstatus muhshan dan lain-lain.
6.
Pengujian
mutu kesahihan matan hadis dalam tradisi muhaddisin sebatas analisis leteral.
Seakan mereka tidak ingin menggugat keabsahan subtansinya. Fuqaha’
justru lebih mementingkan kritik subtansi doktrin yang tersirat dibalik matan
hadis Muhammad al–Ghazali mencontohkan 13 unit matan hadis dari berbagai kitab
koleksi hadis yang bila dianalisis memanfaatkan pemikiran fiqih bila mengundang
masalah. Antara lain: kutukan atas hobbi menyanyi, sorotan atas tata
busana/kontruksi rumah/tehnik memotong kambing, sentuhan syaitan pada bayi
lselain bayi Isa al-Masih, tanda-tanda alamiah perihal kiamat, rasio 2 : 1
pembagian rampasan perang bagi pasukan berkuda dan jalan kaki, dogma qadar dan
sikap zuhud.[45]
7.
Muhaddisin
memperlukan supremasi hadis sebagai sumber memperoleh informasi hukum syari’ah
sedemikian kebal terhadap intervensi dalil yang otoritas sumbernya bukan nash
syar’i. Fuqaha’ dan ushuliyyun justru mensejajarkannya dengan
qiyas, ‘amal keagamaan sahabat, perilaku keagamaan yang disepakati oleh
generasi salaf khususnya pribumi Madinah, skala ‘umum al-balwa dan
ijmak.
E. Akurasi kritik matan dan kritik
sanad
1. Meneliti matan sesudah meneliti sanad
Dilihat dari segi obyek penelitian,
matan dan sanad hadits memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-samapenting
untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujjahan hadits. Dalam urutan
kegiatan penilitian, ulama’ hadits mendahulukan penelitian sanadatas penelitian
matan.
Setiap matan harus bersanad
Langkah penelitian yang dilakukan oleh para ulama’ hadits
tersebut tidaklah berartibahwa sanad
lebih penting daripada matan. Bagi ulama’ hadits dua bagian riwayat
hadits itu sama-sama pentingnya, hanya saja penelitian mmatan barulah mempunyai
arti apabila sanad bagi matan hadits yang bersangkutan telah jelas-jelas
memenuhi syarat.
2. Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas
sanad-nya
Hal ini membuktikan bahwa sanad dan
matan suatu hadits cukup bervariasi. Diantaranya ada suatu hadits yang sanadnya
shahih tetapi matan-nya dha’if, atau sebaliknya, sanadnya dha’if,tetapi
matannya shahih. Begitupul, ada hadits yang sanad dan matannya berkualitas
sama, yakni sama-samashahih atau sama-sama dha’if. Variasi itu belum terhitung
dengan adanya kualitas hasan yang berlaku untuk sanad dan untuk hadits.
Menurut ulama’ hadits, suatu hadits
barulah dinyatakan shahih (lidzati) apabila sanad dan matan hadits itu
sama-sama berkualitas shahih.[46]
Dengan demikian suatu hadits yang sanadnya shahih dan matannya tidak shahih
atau sebaliknya tidak dinyatakan sebagai hadits shahih[47]
F. Para Penentang Terhadap Penelitian Ulama Atas Kritik Matan
Berbagai pihak menuduh bahwa
seleksiotentitas berita yang bersumber dari
Nabi Saw. Sepanjang dilakukan oleh para Muhadisin selalu terbatas pada
penilitian sanad. Tercatat nama Ibn Khuldun (w.808 h)pernah menyatakan demikian[48].
Menyusul kemudian kaum orientalis yang menilai pusat perhatian kaum Mnuhaddisin
hanya terpusat pada penelitian sanad (kritik eksternal hadits)[49].
Tuduhan serupa dinyatakan oleh Ahmad Amin (w.1373 h), Abd Al- Mun’im Al-Bahiy
dan muhammad Al Ghazali.
Muhammad Al Ghazali sebagai ulama
Mesir mutahir seperti pendahuluannya Muhammad Abu Rayyah meneliti bahwa
kegiatan kritik hadits oleh para muhaddisin tercurah oleh aspek sanad,
sedangkan upaya untuk mencermati matan, sedangkan upaya untuk mencermati matan
hadits justru dilakukan oleh fuqaha mujtahidin.[50]
Akumulasi tuduhan itu seakan mengulangisindiran oleh ulama
mutakaliminmu’tazilah bahwa perlaku muhaddisin tidak berbeda dengan zawamil
asfar atau unta-unta pemikul kertas.[51]
Kerja muhaddisin tidak lebih darikesibukan mencari hadits dan
mensosialisasikan tanpa memahami
maknanya.
Persepsi Ibn Khaldun(w.808 h) tentang
praktek-praktek muhaddisindalam kritik hadits dikesankan hanya tercurah oleh
aspek penelitian sanad semata,bisa dimaklumi bila dikaitkan dengan kondisi umat
islam, kususnya kawasan Timur Tengah,
Afrika Utara, dan andalusia (Spanyol)sepanjang kehidupan beliau. Persepsi itu
juga tidak berlebihan mengingat kecenderunga metodologis kriti k sejarah dimana
Ibn Khaldun tergolng sebagai sejarawan.
Langkah metodologi kritik hadits
terhitung pasca fitnah ditandai dega terbunuhnya khalifah Usman Bin affan (w.35
h) dan kondisi tak terbendungnya pemalsuan hadits,telah terjadi
pembalikan,bukan dimulai dari krituk matan yang telah menjadi tradisi kalangan
sahabat Nabi Saw justru mendahulukan kontrol sanad. Pembalikan alur kerja penelitian itu disebabkan oleh kadar
integritas keagamaan (al-adalah) dan loyalitas umat Islam dalam membela
dan mempertahankan keutuhan maupun keaslian hadits telah memudar, bahkan
memprihatinkan. Seperti diketahui beragam kepentingan telah memotifisir
pemalsuan dan menciptakan kerancauan hadits.
Sesuai dengan al-Dzahabi (w.748 h)
pada masanya berlangsung perang salib, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad ketangan
bangsa Tartar, telah berakibat merosotnya keilmuan ibarat jalan ditempat
(stagnasi)[52],
yakni bergerak pada tataran pensyarahan kitab hadits, penyusunan teori keilmuan
hadits dalam bentuk prosa dan nadlom, menghimpun rijalal-hadits, mengoleksi
hadits-hadits kedalam format dengn sistematika baru.Dengan demikian, kesbukan
ilmiah dan penelitian hadits yang tampak kepermukaan lebih condong kearah
operasionalisasi kaidah kritik sanad. Namun apabila diikuti dengan jeli pada
kegiatan edit (istihraj), terjadi aplikasi kaidah penelitian matan, setidaknya
pada tataran seleksi teks resaksinya. Demikian pula usaha koleksi hadits
maudlu’, tekanan kritiknya pada konstruksi dan substansi matan. Misalnya,
kaidah kritik untuk mendeteksi kemaudlu’an hadits yang dipublikasikan oeh Ibnu
Qayyim al-Jauziyy (w. 597 h) dalam koleksi kitab al-maudku’at.[53] Lebih jauh, ulasan para pensyarah terhadap
setiap unit hadits pasti menyertakan kritik bahasa matan,kritik kebenaran
konsep yang menjadi substansi matan dan kritik pemaknaan atas struktur maupun
kosa kata ungkapan matan hadits.
Orientasi yang
dilakukan para fuqoha terhadap hadist bukan tertujupada uji kebenaran
dokumen hadist melainkan terkait dengan seleksi keunggulan nilai
kehujahaan.tepat bila dikatakan bahwa perhatian terbesar fuqoha tertuju pada
matan hadist.pendekatanpada sektor sanad ditekankan pada pengamatan jumlah
periwayat sejak generasi sahabat,tabi’in dan tabi’u al-tabi’in guna memastikan kadar
tawatur / masyhur / ahad.
Walayah perhatian
fuqoha terpusat pada upaya penundukan hadist (sunah)pad ajaran dalil – dalil
hukum syara’dan terfokuskan kesasaran aplikasi doktinalnya. Karena itu, langkah
metodologis kritik mereka yang berbasis pad mu’aradhah (pencocokan) dan muqoronah
(perbandingan) antar konsep atau makna yang dikandung setiap unit hadist.
Media banding uji kecocokan bisa memperhadapkan al-qu’an dan dalil – dalil
perumusan hukum syara amaliah yang lain.target yang ingin dicapai mirip
konfirmasi guna mengesahkan kebenaran doktrin hadist dan uji koherensi (ketertautan
dan keterhubungan) antar doktrin hadist dan dengan doktrin dalil - dalil syara’ yang lain. Dengan demikian,
matan hadist sebagai objek kritik dikalangan fuqoha lebih dekat dengan
aspek subtansi doktrinalnya.[54]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawir,Ahmad Warson, Kamus
Al-Munawir.
Semi,Atari, Kritik Sastra (Bandung:
Angkasa, 1987).
Wehr, Hans, A Dictionsry of Modern
Written Arabic (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970).
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).
Mandzur,Ani al-Fadil Jamaluddin M.
Ibn Makram Ibn, Tahdzibu Lisan al-Arabi.
Al-Azami,M. Musthofa, Manhaj
al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin(Riyadl: al-Ummariyah, 1982).
Abbas,Hasjim, Kritik Matan Hadits.
Sumbulah,Umi,Kritik Hadits.
Hanbal,Ahmad Ibn, Musnad (Beirut:
al-Maktabah al-Islami, 1969).
Khatib,Ajjaj. al-Sunnah
Qabl al-tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1993)
Al-Jauzi, Ibnu, Kitab
al-Maudhuat (Beirut: Dar al-=Fikr, 1983).
Al-Zuhaili,Wahbah, al-Tafsir
al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1991).
A-asqalani,Ibnu Hajari, Fath
al-Bari(mesir: Mathb’ah al-Bahiyah, 1348 H).
Malla khatir al-Azami, Hujjah
al-Hadits al-Mursal ‘inda al-Imam al-Syafi’i
(Jeddah: Dar al-Qiblah, 1999).
Al-Iraq,iZainuddin, al-Taqyid wa
al-Idhah (Beirut: Muassah al-kuub al-Saqafiah, 1996).
Persada, 2000).
Musthofa, al-Sunnah wa Makanatuha,
(Damaskus: Dar Qawmiyah, 1996).
[1] Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir.466
[2] Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 7
[3] Hans Wehr, A Dictionsry of Modern Written Arabic (London:
Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970), hlm. 990
[4] Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 466.
[5] Ani al-Fadil Jamaluddin M. Ibn Makram Ibn Mandzur, Tahdzibu
Lisan al-Arabi.641
[6] M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin(Riyadl:
al-Ummariyah, 1982), hlm. 5
[7] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits. 10.
[8] Umi sumbulah,Kritik Hadits.94
[9] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad (Beirut: al-Maktabah al-Islami,
1969), juz 6, hlm. 109
[10] Al-idlibi, Manhaj naqd al-Matn, hlm. 111
[11] Ajjaj Khatib, al-Sunnah Qabl al-tadwin (Beirut: Dar al-Fikr,
1993), hlm. 192; Ibnu al-Jauzy, Kitab al-Maudhuat (Beirut: Dar al-=Fikr,
1983), I: 55-56.
[12] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr
al-Muashir, 1991), XXVI: 226
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari(mesir: Mathb’ah
al-Bahiyah, 1348 H), V: 87-88
[14] Malla khatir al-Azami, Hujjah al-Hadits al-Mursal ‘inda al-Imam
al-Syafi’i (Jeddah: Dar al-Qiblah,
1999), hlm. 105 dan 175-176.
[15] Zainuddin al’Iraqi, al-Taqyid wa al-Idhah (Beirut: Muassah
al-kuub al-Saqafiah, 1996), hlm 286-287.
[16] M. Fuad Abd al-Baqi, al-lu’lu’ wa al-Marjan (Beirut: Dar al-Fikr, tt),
III: 182
[17] Al-jawabi, Juhud al-Muhadditsin, 108
[18] M.M. alA’zami, Manhaj al-Naqd, hlm. 10-11 dan al-Jawabi, Juhud
al-Muhadditsin, 103.
[19] Khudlary byk, Tarikh al-Tasyri’ al-islami. (Mesir: Dar Ihya
al-kutub, 1964), hlm. 113.
[20] MM. al-A’zhami, Manhaj al-naqd, hlm. 59
[21] Syhrin harahap, Metodologi Studi dan Penelitian ilmu-Ilmu
ushuluddin, (Jakarta:
Raja Cratindo Persada, 2000), hlm. 69.
[22] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 2284 dan 2290
[23] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 2291
[24] Al-ibidbi, Manhaj naqd al-Matn,hl. 135
[25] Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Da Ihya turats al-Arabi, H), II: 779.
[26] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 2388-2389.
[27] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 3161
[28] Al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matn, hlm. 116.
[29] Al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin, hlm. 110.
[30] Muslim Ibnu al-Hajjaj, Muqaddimah Shahih Muslim, Jilid I,
hlm. 15.
[31] Musthofa al-Shiba’I, al-Sunnah wa Makanatuha, (Damaskus: Dar
Qawmiyah, 1996), hlm. 89-90.
[32] Al-Jawbi, Juhud al-Muhadditsin, hlm. 12.
[33] Al-Jawabi, Ibid.,hlm. 113
[34] Ibid., hlm. 144
[35] M.M. al-A’zhami Manhaj al-Naqd, hlm. 183-184.
[36] M. Syuhudi Ismail, Metodologi penelii Hadis Nabi, hlm. 122
[37] Al-Jawabi, Ibid,.,hlm. 498; M. Syuhudi Ismail, Metodologi
penelitian hadis, hlm. 122-123
[38] Al-Jawabi, Ibid.,;M. Syuhudi ismail, Ibid.
[39] Hasjim Abbas,Kritik Matan Hadits.30
[40] Umi Sumbulah,Kritik Hadits.102
[42] Jalaludin al-Syuyuti Tadrib al-Rawi, 1: 246-248.
[43] A.M. Syakir al-Ba’syi al-Hasis, 58.
[44] Mustafa Sa’id al- Khin, Atsaru al-Ihtilaf fi Qowaid al- Ushuliyyah, 254.
[45] Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah. 65-146
[46]l-Adlabi,op.cit,254.
[47] Syuhudi Isma’il,Metodologi Penelitian Hadits Nabi,123.
[48] Ibn Khaldun,Mukaddimah,(Kairo:Maktabah Al-Tijariyyah,tt)37.
[49] Nuruddin ’Itr,Manhaj Al-Naqd.467-468.
[50] Muhammad Al- Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah.15-16
[51] Al-Idlibi,Naqd al-Matn.10
[52] Muhammad al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah. 231.
[53] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi.274.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar