Jumat, 27 April 2012

Kritik Matan


KRITIK MATAN DALAM BINGKAI SEJARAH


A.  Pendahuluan
Kedudukan Nabi sebagai public figur, terbuka asumsi untuk disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Loyalitas berkadar semu bias mewarnai sikap sebagian sahabat beliau. Demikian pula setiap informasi mengenai tahapan pembinaan syariah versi hadits (sunnah), kebijakan kepemimpinan dan pilihan sikap pribadi dalam menjalani kehidupan, tak luput dari reaksi umat buat mengkritisinya.
Gerak dinamikan sosialisasi ajaran sesuai kondisi umat generasi awal Islam selepas wafat Nabi saw yang secar berantai membentuk sunnah bermuara pada optimalisasi pelestarian segala keteladanan yang dinisbahkan Rasulullah saw. Ketika dihadapkan pada keharusan tranformasi pengamatan perorangan sahabat perihal pengalaman keagamaan mengikuti bimbingan Rasulullah saw secara langsung atau lewat perantara perawi rimer, terjadi keragaman segi kuantitas dan kualitas. Segi kuantitas dipengaruhi oleh kadar kedekatan pribadi dan besaran waktu menyerti liku-liku kehidupan Nabi Muhammad saw, sementara segi kualitas pemberitaan,pola narai verbal, ketajaman pesepsi dan sejenisnya ditentukan oleh strata kognitif dan kadar intelektualitas masing-masing sahabat.
Kesenjangan yang amat mengganggu proses verifikasi ketuhanan, keaslian dan kadar kebenaran berita kehadisan yang diriwayakan oleh para sahabat maupun tabi’in, tetap terbawa serta saat kemudian dihasilkan ratusan kutub al-Hadits yang diproses dokumentasinya terpisah lokasi dankurun waktu penyeleksiannya oleh perorangan sejkian banyak ulama kolektor hadita. Proses kesejarahan berikut fakta kesenjangan kuanitas dan kualitas serta format narasi verbal setiap unit hadits, merupakan factor perluasan kritik hadits oleh kalangan muhadditsin. Sasaran objek kritik tidak hanya terfokus pada inti pemberitaan hadis (matan dan redaksinya), tetapi mengembang kearah uji kredibilitas  dan integritas keagamaan para perawi informatornya (kritik sanad).
Dalam sejarahnya kritik matan hadis sungguh  sangat disayangkan apabila terjadi dimasa Rasulullah masih hidup, karena sumber berita masih dapat dimintai keterangannya secara langsung apakah berita yang dikabarkan  oleh seseorang itu  benar kenyataannya dengan perkataan Rasulullah, dari sinilah benih-benih kritik matan mulai diperhatikan oleh para sahabat mngingat apa yang dikatakn oleh Rasululllah akan menjadi pedoman hidup umat manusia.
Mengingat pentingnya memperhatikan redaksi-redaksi hadits yang sejak awal memang sudah terjadi penyalah gunaan oleh seseorang maka disini para sahabat menerapkan metode-motede yang sangat ketat agar keotentitasan sebuah berita dari Rasulullah bisa terjaga dengan baik.
Dalam masa kepemimpinan para khulafaurrasidin (terutama pada masa khalifah Abu Bakar,Umar, dan Usman) perhatian terhadap matan hadits ini masih bisa di bilang belum begitu rumit,namun pasca terbunuhnya Khalifah Usman perpecahan-perpecahan dikalangan umat islam tidak bisa di hindarkan lagi hal ini terjadi karena masing-masing kelompok menggunakan hadits sebagai alat untuk membela kelompoknya masing-masing untuk mendapatkan dukungan dari para pengikutnya.
Peristiwa perpecahan yang terjadi itu kemudian menyisakan pekerjaan berat bagi muhaddisin untuk menentukan hadits manakah yang ierima  dan ditolak, dengan maraknyna pnyimpangan penyimpangan yang mengatasnamakan hadits,para muhadisin menyusun langkah-langkah yang lebih ketat yang bukan hanya menliti tentang beritanya saja namun darimana sumber itu didapat agar nantinya hasil yang diperoleh  dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.




B.     Pengertian Kritik Hadits
Kata kritik dalam bahasa Arab lazim diterjemahkan dengan “Al-Naqd”[1]. Kata kritik sebenarnya bahasa serapan yang berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[2] Naqd dalam bahasa Arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan.[3] Salinan arti naqd dengan pembedaan, kiranya bertemu sesuai dengan judul karya Imam Muslim, Ibn Hajaj (w. 261 H) yang membahas kritik hadits, yakni kitab al-Tamyiz. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indoneesia, kata “kritik” berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[4]. Kata Sedangkan dalam Lisanul Arabi bermakna tamyiz (membedakan).[5]
Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).
Sedangkan menurut istilah kritik hadits bermakna sebagai berikut:
Menurut Ibnu Abi Hatim al-Razi (w.327 H) sebagaimana dikutip oleh M.M. al-A’Zhami adalah:
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة و الحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
“Upaya menyeleksi (,membedakan) antara hadits shahih dan dha’if dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat”.[6]

Sedang sebagai sebuah disiplin ilmu kritik hadits adalah:[7]
الحكم على الرواة تجريحا وتعديلا بألفاظ خاصة ذات دلائل معلومه عند أهله و النظرمتون الاحاديث التى صح سنده لتصحيحها او تضعيفها ولرفع الأشكال عما بدا مشكلا من صحيحها ودفع التعارض بينها يتطبيق مقاييس دقيقه.  
“Penetapan status cacat atau ‘adil pada peawi hadits dengan mempergiunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya dan mencermati matan-matan hadits sepanjang shahis sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadits yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikjasikan tolak ukur yang detail”.
 Menurut Dr.Umi Sumbulah M.Ag, istilah kritik matan hadts,dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadits, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang shahih dan yang tidak shahih.[8]
Bercermin pada perumusan kritik hadits pendefinisi di atas, maka hakikat kritik hadits bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah saw, karena otoritas nubuwah dan penerima mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma (baca: ma’shum), tetapi sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya. Teks redaksi matan hadits tentu membawa serta perawi selaku perekam fakta kesejarahan masa lampau terposisikan sebagai sumber primer. Sedang kaitan yang mendokumentasikan fakta kehaditsan berbentuk kutub al-hadits merupakan sumber sekunder. Demikian ini bila ditinjau dari tradisi kritik sejarah.
Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas perawi hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya berfantasi dan kreasi berfikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain. Sangat mungkin terjadi, perawi tidak hadir pada saat fakta kehadisan berlangsung. Seperti penuturana Abu Hurairah (w. 56 H) bahwa Rasulullah saw bersabda:  ولد الزنا الثلاثة.[9]
Persepsi yang segera terlintas  adalah anak yang lahir dari hubungan perzinahan harus memikul dosa pada giliran ketiga sesudah pasangan zina wanita yang melahirkannya. Sekira Abu Hurairah mengikuti alur pembicaraan Rasulullah saw sejak awal, tentu komposisi matan haditsnya terbentuk utuh, yaitu orang munafik, sang provokator itu, ternyata pribadi yang terlahir tanpa bapak, sebab hubungan zina telah menandai wanita lajang yang melahirkannya.[10]

C.     Sejarah perkembangan kritik matan
         a. Kritik Hadits Dimasa Nabi Saw
Tradisi kritik atas pemberitaan hadis telah terjadi sejak pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Motif kritik pemberitaan hadis bercorak konfirmasi, klarifikasi dan upaya memperoleh testimony yang target akhirnya menguji validitas keterpercayaan berita (al-istitsaq). Kritik bermotivasi konfirmasi, yakni upaya menjaga kebenaran dan keabsahan berita, antara lain terbaca pada kronologikejadian yang diriwayatkan oleh Abu buraidah tentang seorang pria yang tertolak pinangannya untuk mempersunting wanita Banu Laits. Lokasi pemukiman kabilah itu kurang lebih 1 mil dari Madinah. Ia tampil berbusana kostum dimana potongan, warna dasar, dan ciri-ciri lain yang benar-benar mirip busana keseharian nabi saw. Kedatangan pria itu, seperti pengakuannya, membawa pesan dari nabi Muhammad saw untuk singgah dirumah siapapun yang dalam versi riwayat lain untuk membuat perhitungan hukum sendiri. Ternyata pilihan rumah jatuh pada kediaman orang tua gadis yang ia gagal meminangnya. Segera  warga kabilah Banu Laits mengirim kurir agar menemui Nabi saw dengan tujuan untuk konfirmasi atas pengakuan sepihak pemuda tersebut. Secepat berita itu sampai pada Nabi Saw, beliau langsung menugasi Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab untuk .menangkap pria itu – ternyata ia seorang munafik- dan menjatuhkan hukuman (bunuh) di tempat.[11]
Kritik bermotif klarifikasi (tabãyun) yakni penyelarasan dan mencari penjelasan lebih konkret, antara lain seperti menyangkkut laporan Walid bin Uqbah yang ditugasi oleh Nabi Saw sebagai ‘amil shadaqoh terhadap warga muslim Banu Mushthaliq. Walid yang pada masa lalu pernah terlibat dalam kasus (pembunuhan) dengan korban warga Banu Mushthaliq larut terbawa halusinasi bayangan balas dendam dari mereka. Membaca gelagat penyambutan adat kabilah dengan persenjataan lengkap, semakin mengentalkan halusinasi tersebut. Walid selanjutnya merekayasa laporan bahwa ternyata warga Banu Mushthaliq  telah memasng perangkap untuk membuuh setiap petugas zakat yang kirim oleh Rasulullah saw. Seperti tersurat pada redaksi surat al-Hujurat: 6, Rasulullah saw nyaris percaya pada laporan Walid untuk klrifikasi dan ternyata tidak demikian halnya.[12] Peristiwa tabayun tersebut muncul dalam format sabab al-nuzul dibanyak kitab tafsir untuk ayat di atas.
Motif kritik lain menyerupai upaya testimoni yakni mengusahakan kesaksian dan pembuktian atas sesuatu yang tersinyalir diperkuat oleh Nabi Saw seperti keseriusan Umar bin Khattab menjumpai Nabi Saw selepas jama’ah shalat shubuh, begitu mendengar berita dari tetangga dekat rumahnya Nabi Saw telah menjatuhkan thalaq kesemua istri beliau.[13] Testimony yang langsung diperoleh dari pengakuan Nabi Saw, ternyata beliau hanya menjatuhkan ila’ (tekad tidak meniduri isteri-isteri yang ada dengan ikrar di bawah sumpah) untuk limit satu bulan qamariah.
Motif kritik pemberitaan (matan hadits) untuk tujuan esensi faktanya dilaksanakan dengan teknik investigasi (penyelidikan) dilokasi kejadian, bertemu langsung dengan subjek narasumber berita serta melibatkan peran aktif pribadi nabi/Rasul Saw. Konfigurasi kritik pemberitaan terarah pada esensi matan hadis, kiranya cukup menjadi bukti sejarah betapa di masa hidup Nabi Saw telah berlangsung tradisi kritik hadits yang paling intens dan kadar validitasnya terjamin objektif. Lebih penting lagi, tradisi itu secara jelas memeproleh dukungan dari Rasulullah Saw.
         b. Kritik Hadis pada Periode Sahabat
Proses tranfer (pengoperan) informasi hadis dikalangan sesama sahabat Nabi Saw cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan. Kondisi daya ingat, ketepatan persepsi dalam menguasai fakta kehadisan dimasa hidup Nabi dan faktor gangguan indera mata itu saja yang perlu dicermati dampaknya antara sesama sahabat tidak terpantau kecenderungan mencurigai kedustaan, baik dalam memberitakan sendiri informasi hadis atau yang berasal dari sahabat lain. Latar belakang tersebut kiranya yang mendasari Imam Syafi’i  (w. 204) bersikap optimis untuk mendukung kehujjahan hadis mursal shahabi, utamanya yang melibatkan sahabat senior.[14]
Kadar integritas keagamaan (al-‘adalah) segenap sahabat nabi Saw, termasuk mereka yang terlibat langsung dalam fitnah (tragedy koonfli kepentingan politik) telah memperoleh legitimasi sampai ketaraf ijmak. Proses konsensus bermula dari pemekaran atas kata ummah pada penegasan surat al-Baqarah: 143 dan Ali ‘Imron: 10 serta spesifikasi kelompok manusia yang disifati dalam al-Qur’an dengan alladziina ma’ahu pada penyataan surat al-Fath: 29, oleh seluruh mufassirin direpresentasikan segenap sahabat Nabi Saw.[15] Selebihnya berkat pengembangan petunjuk hadits:
من ابى سعيد الخدرى قال النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم: لاتسبّوا أصحابى فو الّذى نفسى بيده لو أن احدكم انفق مثل احد ذهبا ماادرك مد أحدهم ولا نصيفه (متفق عليه)
“Dari Sa’id al-Khudry, Nabi bersabda: janganlah kalian mencerca sahabat-sahabatku; maka demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh sekiranya seorang diantara kalian membelanjakan emas setara bukit Uhud, niscaya kalian tidak mampu meyamai seukuran sau mus maupun separuhnya” (Mutafaqun ‘alaihi). [16]
Dengan demikian sarana uji kredibilitas perawi sahabatnya dalam mekanisme kritik hadis selama periode kehidupan mereka (hingga selepas kepemimpianan Khulafa al-Rasyidin) tidak menyentuh aspek al-‘adalah, melainkan cukup mengarah pada akurasi kedhabitan semata. Gejala mengefektifkan uji ketersambungan sanad riwayat juga belum terlihat. Kondisi itu disebabkan jarak transmisi hadi umumnya hanya seorang dan paling banyak 2 orang dari sesama sahabat yang terkenal ‘adalah dan kejujurannya.
Kesalahan tidak disengaja, salah mempersepsi fakta dan kekeliruan bentuk lain karena gangguan indera pengamatan adalah hal yang manusiawi dan mereka bukan pribadi ma’shum. Faktor luar yang diduga memperbesar kelemahan tersebut adalah: kelangkaan naskah penghimpun notasi hadits, kurang tersosialisasi aktifitas pencatatan hadiits dan ekses dari penyaduran.
Sekala kesalahan dalam proses pemberitaan hadis pada periode sahabat cepat terlokalisir dan tereleminir, karena adanya tradisi saling menegur dan mengi ngatkan. Kritik terhadap peberitaan esensi matan antar sahabat mengambil bentuk polemic terbuka. Begitu terdengar pemberitaan hadits yang mencerminkan bias informasi, segera sahabat yang lebih tau duduk persoalannya menanggapi langsung dan meluruskannya. Langkah metodologis kririk esensi pemberitaan itu oleh Badrudin al-Zarkasyi (w. 749 H) disebut istidrak [17] atau upaya perbaikan kesalahan. Pilihan istilah istidrak ini amat relevan karena momentum ralat atas kesalahan itu menyusul kemudian. Apalgi dicermati pendekatan teknmisnya ada kecenderungan mengarah pada format interpretasi (al-istifsar), yakni mencari kejelasan pemberitaan esensi hadis yang factual.
Pada periode sahabat menurut pengamatan al-Hakim (w. 405 H) dan al-Dzahabi (w. 748 H) adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H) sebagai tokoh perintis pemberlakuan uji kebenaran informasi hadis.[18] Motif utama penerapan kritik hadis adalah dalamrangka melindungijangan sampai terjadi kedustaan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw. Motif seperti ini terungkap pada pernyataan Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari: “saya sesungguhnya tidak mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir orang (dengan seenaknya) memperkatakan sesuatu (baca: mengatasnamakan) pada Rasulullah) pada Rasulullah Saw”.
Kaidah kritik lebih tertuju pada uji kebenaran bahwa Rasulullah Saw jelas –jelas meninformasikan hadis itu prosedurnya mencerminkan upaya memperoleh hasil dari perujukan silang kyang saling membenarkan terhadap fakta kehadisan sebagaimana diberitakan oleh sahabat tertentu. Pola perujukan silang berintikan muqarnah atau perbandingan antar riwayat dn sesame sahabat. Pola muaranah antar riwayat ini kelak menyerupai praktek I’tibar guna mendapatkan data syahid al-hadits agar asumsi kemandirian sahabat periwayat hadis bisa dibuktikan.  Syahid al-hadits adalah periwyatan serupa isi matan hadis, mungkin ada kemiripan struktur kalimatnya dan mungkin hanya semakna saja, oleh sahabat lain yang dapat disejajarkan sebagai riwayat pendukung. Cara yang dilakukan cukup meminta agar shaat periwayat hadits berhasil mendatangkan perorangan sahabat lain yang memberi kesaksian atas kebenaran hadits nabawi yang ia beritakan. Langkah metodologis tersebut berkesan seakan-akan kalangan sahabat tidak bersedia menerima informasi hadis kecuali dibuktikan oleh kesaksian minimal 2 (dua) orang yang sama-sama menerima hadis tersebut dari rasulullah Saw.[19]
Pemberlakuan metode kitik internal hadis seperti contoh diatas lebih diorientasikan sebagai peletakan disiplin bagaimana prosedur penerimaan setiap informasi yang diasosiasikan kepada nabi Saw harus ditegakkan dan umat islam tidak boleh terburu-buru mempercayai pemberitaan seperti itu. Akan tetapi norma kritik itu tidak mutlak harus diberlakukan; sebab dalam batas tidak ada keraguan, betapa substansi matan hadisnya mengenai materihukum yan g berdampak jauh, terjadi sikap penerimaan periwayatan sahabat tunggal tanpa menuntut dukungan kesaksian. Misalnya:
1)          Ali bin Abi thalib segera mempercayai penjelasan hadis Nabi tentang shalat taubah yang disampaikan oleh Abu Bakkar al-Shiddiq
2)          Khalifah Umar bin Khattab menerima saran Abdurrahman bin ‘Auf perihal petunjuk nabi Saw dalam rangka mengantisipasi wabah penyakit yang yang melanda daerah npemusatan angkatan perang islam
3)          Usman bin ‘Afan menerima pemberitaan Fura’iah binti Malik perihal mantan istri ber-‘iddah karena  kematian suami dirumah duka.
Tradisi kritik sensi matan hadisdilingkungan sahabat selain menerapkan kaidah muqaranah antar riwayatseperti contoh-contoh di atas, berlaku juga kaidah mu’aradhah. Namun skala penerapan metode mu’arahlah pada periode sahabat belum sepesat periode berikutnya, tabi’in.[20] metode mu’aradhah intinya adalah konsep pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar tetap erpelihara kebertauutan dan keselarasan antar konsep dengan hadis (sunnah) lain dan dengan dalil syari’ah yang lain. Langkah pencocokan itu juga dilakukan dengan peunjuk eksplisit al-Qur’an (dzahir al-Qur’an), pengetahuan kesejarahan (sirah nabawiyah) dan dengan ;penalaran akal sehat. Langkah metodologis mu’aradhah serpa dengan critical approarch pada penelitian pemikiran tokoh. Konsep dan seluruh aspek pemikiran tokoh dianalisis sevara tepat dan mendalam keselarasannya atu sama lain.[21]Dari pola analisis tersebut didapat koherensi intern atau pertautan antar narasi pemiki0ran tokoh yng diteliti.
Uji kecocokan hadisdengan petunjuk eksplist al-Qur’an, mislnya pengkuan pribadu Fatimah binti Qais al-Quraysyiyah, bahwa ketika dirinya dinyatakan jatuh thalaq ba’in oleh suaminya, Rasulullah saw tidak memberikan fasilitas nafaqahk maupun tempat kediamanatas beban suaminya selama menjalani masa ‘iddah (HR. muslim dan Abu Dawud).[22] Kkhalifah Umar bin khattab menolak pengakuan tersebut yang diasosiasikan kepada nabi Saw, karena menurut keyakinan pribadinya, informasi hadis tersebut ternyata bertentangan dengan petunjuk eksplisit al-Qur’an seperti terbaca pada surat al-Thalaq: 49 dan 51. saat itu Umar bin Khatab menyatakan sikapnya:
قال عمر الخطاب: لانترك كتاب ربنا لقول امرأة لعلها حفظت او نسيت.
   ( اخرجه مسلم وابو داود)
“kami tidak akan mengabalikan 9kertentuan) kitab suci Tuhan, kami hanya karena ucapan seorang waniita yang mungkin ingat atau lupa”. (HR. Muslim dan Abi Dawud)
Ketika dilakukan mverifikasi data pada subjek Fathimah binti Qais, ternyata yang bersangkutan bermula mohon perkenan kepada nabi Saw untuk tidak tinggal di rumah keluarga suami selama menjalani masa iddah, dengan pertimbangan dilokasi perkampungan eks suami banyak bekeliaran binatang buas. Seperti terungkap pada koleksi al-Bukhary dan Ibnu Majah serta Abu Dawud.[23]Jadi pengakuan Fatimah binti Qais itu ekses dari persepsi pribadinya bahwa persetujuan nabi Saw itu mengisyaratkan tidak adanya fasilitas nafaqah dan tempat tiggal selama ‘iddah pasca thalaq ba’in yang menimpa dirinya.[24]
Penerapan metode mu’aradhah dengan sesame hadis (sunnah) seperti pengutipan hadis oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda:
من ادركه الفجر جنبا فلا يصم
“Siapa memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub (hadas besar) maka jangan berpuasa”. [25]
Ketika informasi itu terdngar oleh kedua Umm al-Mu’minin, A’isyah dan Ummu Salamah, terjadi reaksi penolakan karena keduanya menyaksikan betapa Nabi Saw berulangkali masih dalam kondisi janabah (hadats besar) hingga masuk waktu shubuh dimana paginya beliau bepuasa.[26]Atas kesaksian kedua isteri nabi Saw itu Abu Hurairah mengakui kelabihan pengetahuan mereka dalam berterus terang mengungkap bahwa informasi itu tak ia terima langsung dari Nabi Saw melainkan diperoleh dari Fadhal bin Abbas.
Pada periode sahabat juga telah diterima mu’aradhah hadis dan mencocokkanya dengan penalaran akal sehat. Seperti teramati pada reaksi spontan A‘isyah, Abdullah bin Mas’ud dan Abullah bin Abbas ketika mereka mendengar Abu Hurairah menyitir hadis:
من غسل الميّت فليغتسل ومن حملها فليتوضأ
“Siapa telah selesai memandikan mayat, harap mandi (sesudahnya) dan siapa yang memikul keranda jenazah, harap ia berwudlu”. (HR. Abu Dawud)[27]
Polemik yang muncul kemudian bernada mempertanyakan: najisnya mayat-mayat orang islam? Beban hukum apakah yang berlaku bagi orang yang memikul kayu? Betapa kita memikul kayu dalam keadaan basahpun tidak wajib mandi. Obyek kayu dalam polemik itu dibuat padanan, karena keranda jenazah masa itu biasa terbikin dari bahan kayu. Pertanyaan A’isyah perihal najis tidaknya mayat manusia, bisa jadi merujuk pada pertanyaan Nabi Saw bahwa: “orang mukmin itu najis mayatnya” (HR. Baihaqi).[28]
Melalui metode mu’aradhah terungkap bahwa pemberitaan itu bukan benar-benar hadis, melainkan fatwa atas pertimbangan istihsan yang formulasinya sebatas anjuran mandi pasca memandikan mayat.
        c.   Kritik Hadis pada Periode Muhadditsin
Integritas keagamaan pembawa berita hadis mulai diteliti terhitung sejak terjadi fitnah, yakni peistiwa khalifah Usman bin Affan terbunuh berlanjut dengan kejadian-kejadian lain sudahnya. Fitnah tersebut menimbulkan pertentangan yang tajam dibidang politik dan pemikiran keagamaan keutuhan umat Islam pun terpecah; sebagian mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan gelombang berikutnya, Mu’tazilah.[29]Pemuka aliran sectarian itu memanfaatkan institusi hadis sebagai propaganda dan upaya membentuk opini umat dengan cara membuat hadis-hadis palsu.
Fakta pemalsuan itu membangkitkan kesadaran muhadisin untuk melembagakan sanad sebagai alat control periwayatan hadits skaligus mencermati kecenderungan sikap keagamaan dan politik orang-perorang yang menjadi matarantai riwayat itu. Seperti duiungkap oleh Ibnu Sirrin (w. 110 H): “semula umat tidak mpertanyakan sanad hadis, tetapi begitu terjadi fitnah muncul, tuntutan agar setiap penyaji hadis mnyebut dengan jelas nama orang-orang pembawa berita hadis itu”. [30] pernyataan Ibnu Sirrin menempatkan sebab utama pelembagaan sanad sebagai antisipasi terhadap maraknya pemalsuan hadis, di samping perhatian terhadap jalur asal-usul berita hadis.
Upaya mewaspadai hadis dari gejala pemalsuan dengan mengefektifkan peran sanad dan mencermati integritas keagamaan periwayat telah berlangsung pada periode kehidupan sahabat kecil yakni mereka yang masih berada di tengah-tengah umat hingga sekita tahun 70-80 Hijriyah; demikian pula periode tabi’in senior,[31]Ibrahim al-Nakh’i (w. 96 H), masa mulainya orang mempertanyakan sanad untuk setiap hadis bertepatan dengan periode kehidupan Mukhtar bin Abi Ubaid al-Saqafi (w. 67 H).[32] Walau demikian, pelembagaan sanad belum menjadi keharusan, terbukti di kalangan tabi’in masih banyak  periwayatan hadis dengan cara mursal, yakni tidak menyertakan dengan jelas melalui sahabat manakah hadis itu diperoleh riwayatnya . Baru pada pertengahan abad kedua hijriah, keberadaan sanad merupaan suatu keharusan dan tanpa sanad merupakan suatu keharusan dan tanpa sanad maka terjadi penolakan  terhadap hadis besangkutan.[33]
Dalam rangka mengimbangi pelembagaan sanad, maka lahirlah kegiatan jarh-ta’dil (mencermati kecacatan pribadi perawi dan keterpujiannya). Biodata pribadi periwayat hadis yang ditelusuri meliputi: data kelahiran dan wafatnya; tempat tinggal; mobilitas dalam studi hadis; nama guru dan murid yang di asuh; penilaian kritikus tentang integritas keagamaan atau indikasi tersangkut faham bid’ah, kadar ketahanan hafalan dan bukti pemilikan notasi hadis dan penetapan peringkat (thabaqah) profesi kehadisannya. Kegiatan jarh-ta’dil menurut pengamatan al-Dzahabi (w. 748H) telah melibatkan 715 kritikus.[34]
Data itu cukup mengisyaratkan betapa pemalsuan hadis tak terbendung dan berlangsung dalam waku yang lama (21 geneasi) serta bertepat di banyak daerah. Sekalipun kitik sanad telah memperoleh perhatian besar dikalangan muhaddisin generasi tabi’in, bukan berarti tradisi kritik mata dihentikan, bahkan penerapan metode mu’aradhah (pencocokan) semakin diperluas jangkauannya. Sebagai bukti ketika Kuraib (seorang murid Ibnu Abbas) membawakan hadis tentang pembetulan posisi berdiri Abdullah bin Abbas berada di samping Nabi Saw saat makmum shalat malam dirumah kediaman Maimunah, menurut penuturan Imam Muslim bin al-Hajaj (w. 261 H) dalam al-Tamyiz telah diupayakan uji kebenaran isi redaksi matannya dengan melibatkan 4 orang murid kuraib dan 9 murid hadis Ibnu Abbas yang sebaya/seangkatan masa belajarnya dengan Kuraib.[35]
Dari cara mu’aradhah ini diperoleh kepastian bahwa Nabi Saw memposisikan sikap bediri Inu Abbas selaku makmum tunggal disamping kanan badan nabi Saw. Dengan hasil akhir sperti itu, ungkapan matan yang melalui Yazid bin Ali Zinad dari Kuraib diyatakan lemah. Demikian pula kritik asal makna (konsep ajaran) yang dikandung matan hadis makin bervariasi kaidah yang diterapkan, sehingga muncul penilaian betapa rumitnya kaidah kritik matan itu.[36]
Perkembangan metode kritik hadis bergerak mengikuti spesialisasi keilmuan dan kecenderungan perhatian perhatian pemikir keagamaan para kritikusnya. Ulama yang menekuni keahlian bahasa menermati dan memperbandingkan bahasa, uslub (gaya bahasa) teks matan hadis yang besifat qauly dengan ukuran bahasa tutur Nabi Saw dalam komunikasi sehari-hari yang dikenal amat fasih. Ulama hadis dengan spesialisasi pendalaman konsep doktrinal hadis memperbandingkannya dengan konsep kandungan sesama hadis (sunnah) dan dengan al-Qur’an. Ulama yang menaruh perhatian pada sector istinbath (penyimpulan deduktif) terhadap kandungan materi hukum, hikmah dan nilai keteladanan dalam hadis, mengarahkan penelitiannya pada nisbah ungkapan pada narasumber hadis.
Penelitian serupa terarah pada uji keutuhan, keaslian dan kebenaran komposisi teks matan hadis. Kritik oleh muhaddisin yang membidangi aqidah dan mutakallimin terfokus pada hadis bermateri sifat-sifat Allah dan materi alam ghaib dengan kaidah menyikapi gejala kemusykilan. Muhaddisin yang sekaligus juga fuqaha, mencermati hadis dari segi pembinaan dan penerapan syari’at (aplikasi normatif). Kritikus hadis generasi mutakhir sibuk merespon sikap keragu-raguan dalam memahami dan mengoperasionalkan ajaran hadis berhubung dinamika pengetahuan dan teknologi serta kecenderungan bersikap kritis pragmatis umat masa kini.[37] Kritkus akademisi merespon orientalis yang menghembuskan keraguan ilmiah hadis.
Dalam tahapan perkembangan metode kritik dan wilayah pemusatan aplikasi kaidahnya tampak kecenderungan umum menguji mutu matan hadis dan uji kondisi sanad saling dikaitkan. Bahkan terjelma semacam knsensus dilingkungan muhaddisin bahwa kritik sanad merupakan prasyarat bagi kelayakan untuk ditindak lanjuti dengan kritik matan hadis.[38] Apabila pada periode sahabat kritik hadis dilakukan semata-mata guna memperoleh kemampuan pemberitaan, maka pada pasca fitnah, segala langkah metodologis kritik sanad dan matan .diorientasikan  pada maksud tujuan pemikiran maqbul (diterima sebagai hujjah
D.     Metodologi Para Ahli Hadits Dalam Terciptanya Kritik Matan
Metodologi yang diterapkan oleh masing-masing ulama berbeda menurut situasi dan kondisi yang dibutuhkan pada saat itu.
Seperti yang diterapkan oleh para sahabat misalnya dengan menerapkan metode muqaranah (perbandindingan) antar riwayat dari sesama sahabat dengan persaksian minimal dua orang d juga menerapkan metode muaradlah (perlawanan) yaitu matan-matan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi ini berlawanan dengan dhahir al-qur’an,  siroh nabawiyah,dan dengan penalaran akal sehat.[39]
Sedangkan menurut Adlahabi bahwa sebuah matan hadits bisa dikatakan sahih apabila tidak bertentangan dengan al-qur’an, tidak bertentangan dengan hadits rasulullah yang memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi,tidak bertentangan dengan akal,indera dan sejarah serta menunjukkan ciri-ciri sabda rasulullah jika diteliti secara redaksional. Lain halnya dengan al-Baghdadi, yang menyatakan bahwa sebuah hadits tidak dikatakan shahih bila bertentangan dengan rasio,ayat al-qur’an yang telah muhkam,hadits mutawatir,amaliah ulama, salaf yang telah disepakati,serta hadits ahad yang bobot akurasinya lebih kuat.[40]
Perbedaan Metodologi Antara Muhaddisin dan Fuqoha’
1.  Muhaddisin amat ketat menyikapi gejala ‘illat hadis, bukan hanya ‘illat qadihah (merusak) citra matan, tetapi juga gejala ‘illat khafifah (ringan) juga dipandang menjadi sebab status ke-dha’if-an hadis. Misalnya, temuan data me-mursal-kan hadis yang kalangan perawi tsiqah (kepercayaan) dan dhabith memusnadkannya. Temuan data tersebut tergolong ‘illat khafifah, tetapi bagi muhaddisin cukup memadai untuk men-dhaif-kannya. Fuqaha’ dan ushuliyyun bersikap pemisif dan mentolelir ‘illat tersebut.
2.  Muhaddisin sangat peduli dengan uji ketersambungan sanad (ittishad) dan seluruh periwayat dipersyaratkan harus jelas personalianya dan dikenal luas kepribadian maupun profesi kehadisannnya. Keterputusan sanad (mursal, munqathi’, mu’dhal), perawi yang anonim (majhul al-‘ain) atau minus pengakuan perihal keahlian hadisnya (mastur al-hal) merupakan tanda ke-dhaif-an yang sangat mendasar. Fuqaha’ dan ushuliyyun justru bersedia mangamalkan hadis mursal sekalipun versi teminologisnya berbeda dengan versi muhaddisin, melembagakan atsar (hadis mawquf), ‘amal al- shahabah (hukum kebiasaan yang hidup dan dihormati oleh generasi sahabat) dan sirah mereka. Bahkan disinyalir bahwa ‘amal ahl al-madinah lebih diunggulkan dari pada potensi kehujjahan sunnah nabawiyah di kalangan fuqaha’ madzhab Maliki.[41] Fuqaha’ lebih interes pada uji kuantitas periwayat guna mengukur data tawatur-ahad-nya hadis dan qathi’iy-zhanniy-nya dalalah.
3.  Muhaddisin bersikap peka terhadap kecacatan kepribadian perawi dari segi integritas keagamaan seperti indikasi keterlibatan pada faham bid’ah. Demikian juga bila dicurigai memalsukan hadis, atau tidak cermat dalam membawakan hadis lantaran buruk ingatan dan ketahuan banyak salah pada penyajian teks matannya. Fuqaha’ dan ushulyun lebih tertarik menyoroti data konsistensi perilaku periwayat diperhadapkan dengan muatan doktrin hadis yang ia bertindak sebagai periwayatnya. Konsistensi periwayat oleh mereka dipandang sebagai cermin daya keberlakuan ajaran hadis yang ia riwayatkan.
4.  Data temuan tambahan informasi pada matan hadis hanya akan diperhitungkan manakala subyek yang bertanggung jawab atas data tambahan informasi itu periwayat yang menurut muhaddisin betul-betul tergolong tsiqah. Tambahan informasi pada matan itu dianalisis dampaknya pada hadis lain yang sama-sama bermutu sahih, yakni diterima bila tidak menafikan subtansi matan hadis lain yang sahih atau berfungsi menafsirkan.[42] Data temuan tersebut dikenal dengan ziyadah tsiqah. Sikap fuqaha’ menurut pengamatan Khatib al-Baghdadi (w.436 h) sangat toleran dan lunak dalam merespon data ziyadah tersebut.[43]
5.  Bertolah dari paradigama kebenaran al-Quran karena terjamin oleh sifat tawatur dan pengakuan umat atas dokumentasi mushafnya, maka kedudukan al-Quran sebagai dalil hukum syara’ adalah qathiy (pasti dan menyakinkan). Konsekuensinya setiap informasi hadis (sunah) harus mempertahankan rumusan konsep Al-Quran dan berhenti pada liminitas hukumnya. Karenanya, informasi matan hadis yang melampaui rumusan hukum atau liminitas al-Quran dikategorikan al-ziyadah ‘ala al-nashsh. Muhaddisin utamanya yang berafiliasi Malikiah, Syafi’iyah dan Hambaliah memandang informasi tambahan atas nash al-Quran lebih memantapkan keberadaan konsep hukum al-Quran dan mengakomodir hal lain yang berfungsi komplementer baginya.[44] Fuqaha’ berafiliasi Hanafiah menganggap tambahan atas nash itu identik dengan nasakh. Perbedaan pola kritik tersebut memunculkan formula deduksi hukum yang berbeda sangat mencolok pada hadis bertema: zakat fitrah, menyapu khuf pengganti mencuci kedua kaki dalam berwudhu, istinja’ memanfaatkan batu, kafarah bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan bagi yang terbebani kewajiban berpuasa, fasakh ihram haji menjadi ihram ‘umrah,, hukum qiradh, hukum salam, sanksi rajam pada pelaku zina yang berstatus muhshan dan lain-lain.
6.  Pengujian mutu kesahihan matan hadis dalam tradisi muhaddisin sebatas analisis leteral. Seakan mereka tidak ingin menggugat keabsahan subtansinya. Fuqaha’ justru lebih mementingkan kritik subtansi doktrin yang tersirat dibalik matan hadis Muhammad al–Ghazali mencontohkan 13 unit matan hadis dari berbagai kitab koleksi hadis yang bila dianalisis memanfaatkan pemikiran fiqih bila mengundang masalah. Antara lain: kutukan atas hobbi menyanyi, sorotan atas tata busana/kontruksi rumah/tehnik memotong kambing, sentuhan syaitan pada bayi lselain bayi Isa al-Masih, tanda-tanda alamiah perihal kiamat, rasio 2 : 1 pembagian rampasan perang bagi pasukan berkuda dan jalan kaki, dogma qadar dan sikap zuhud.[45]
7.  Muhaddisin memperlukan supremasi hadis sebagai sumber memperoleh informasi hukum syari’ah sedemikian kebal terhadap intervensi dalil yang otoritas sumbernya bukan nash syar’i. Fuqaha’ dan ushuliyyun justru mensejajarkannya dengan qiyas, ‘amal keagamaan sahabat, perilaku keagamaan yang disepakati oleh generasi salaf khususnya pribumi Madinah, skala ‘umum al-balwa dan ijmak.


E.    Akurasi  kritik matan dan kritik sanad

1. Meneliti matan sesudah meneliti sanad
Dilihat dari segi obyek penelitian, matan dan sanad hadits memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-samapenting untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujjahan hadits. Dalam urutan kegiatan penilitian, ulama’ hadits mendahulukan penelitian sanadatas penelitian matan.
Setiap matan harus bersanad
Langkah penelitian yang dilakukan oleh para ulama’ hadits tersebut tidaklah berartibahwa sanad  lebih penting daripada matan. Bagi ulama’ hadits dua bagian riwayat hadits itu sama-sama pentingnya, hanya saja penelitian mmatan barulah mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadits yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat.
2. Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanad-nya
Hal ini membuktikan bahwa sanad dan matan suatu hadits cukup bervariasi. Diantaranya ada suatu hadits yang sanadnya shahih tetapi matan-nya dha’if, atau sebaliknya, sanadnya dha’if,tetapi matannya shahih. Begitupul, ada hadits yang sanad dan matannya berkualitas sama, yakni sama-samashahih atau sama-sama dha’if. Variasi itu belum terhitung dengan adanya kualitas hasan yang berlaku untuk sanad dan untuk hadits.
Menurut ulama’ hadits, suatu hadits barulah dinyatakan shahih (lidzati) apabila sanad dan matan hadits itu sama-sama berkualitas shahih.[46] Dengan demikian suatu hadits yang sanadnya shahih dan matannya tidak shahih atau sebaliknya tidak dinyatakan sebagai hadits shahih[47]

F.    Para Penentang  Terhadap Penelitian Ulama Atas Kritik Matan
Berbagai pihak menuduh bahwa seleksiotentitas berita yang bersumber dari  Nabi Saw. Sepanjang dilakukan oleh para Muhadisin selalu terbatas pada penilitian sanad. Tercatat nama Ibn Khuldun (w.808 h)pernah menyatakan demikian[48]. Menyusul kemudian kaum orientalis yang menilai pusat perhatian kaum Mnuhaddisin hanya terpusat pada penelitian sanad (kritik eksternal hadits)[49]. Tuduhan serupa dinyatakan oleh Ahmad Amin (w.1373 h), Abd Al- Mun’im Al-Bahiy dan muhammad Al Ghazali.
Muhammad Al Ghazali sebagai ulama Mesir mutahir seperti pendahuluannya Muhammad Abu Rayyah meneliti bahwa kegiatan kritik hadits oleh para muhaddisin tercurah oleh aspek sanad, sedangkan upaya untuk mencermati matan, sedangkan upaya untuk mencermati matan hadits justru dilakukan oleh fuqaha mujtahidin.[50] Akumulasi tuduhan itu seakan mengulangisindiran oleh ulama mutakaliminmu’tazilah bahwa perlaku muhaddisin tidak berbeda dengan zawamil asfar  atau unta-unta pemikul kertas.[51] Kerja muhaddisin tidak lebih darikesibukan mencari hadits dan mensosialisasikan  tanpa memahami maknanya.
Persepsi Ibn Khaldun(w.808 h) tentang praktek-praktek muhaddisindalam kritik hadits dikesankan hanya tercurah oleh aspek penelitian sanad semata,bisa dimaklumi bila dikaitkan dengan kondisi umat islam, kususnya kawasan Timur  Tengah, Afrika Utara, dan andalusia (Spanyol)sepanjang kehidupan beliau. Persepsi itu juga tidak berlebihan mengingat kecenderunga metodologis kriti k sejarah dimana Ibn Khaldun tergolng sebagai sejarawan.
Langkah metodologi kritik hadits terhitung pasca fitnah ditandai dega terbunuhnya khalifah Usman Bin affan (w.35 h) dan kondisi tak terbendungnya pemalsuan hadits,telah terjadi pembalikan,bukan dimulai dari krituk matan yang telah menjadi tradisi kalangan sahabat Nabi Saw justru mendahulukan kontrol sanad. Pembalikan alur kerja  penelitian itu disebabkan oleh kadar integritas keagamaan (al-adalah) dan loyalitas umat Islam dalam membela dan mempertahankan keutuhan maupun keaslian hadits telah memudar, bahkan memprihatinkan. Seperti diketahui beragam kepentingan telah memotifisir pemalsuan dan menciptakan kerancauan hadits.
Sesuai dengan al-Dzahabi (w.748 h) pada masanya berlangsung perang salib, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Tartar, telah berakibat merosotnya keilmuan ibarat jalan ditempat (stagnasi)[52], yakni bergerak pada tataran pensyarahan kitab hadits, penyusunan teori keilmuan hadits dalam bentuk prosa dan nadlom, menghimpun rijalal-hadits, mengoleksi hadits-hadits kedalam format dengn sistematika baru.Dengan demikian, kesbukan ilmiah dan penelitian hadits yang tampak kepermukaan lebih condong kearah operasionalisasi kaidah kritik sanad. Namun apabila diikuti dengan jeli pada kegiatan edit (istihraj), terjadi aplikasi kaidah penelitian matan, setidaknya pada tataran seleksi teks resaksinya. Demikian pula usaha koleksi hadits maudlu’, tekanan kritiknya pada konstruksi dan substansi matan. Misalnya, kaidah kritik untuk mendeteksi kemaudlu’an hadits yang dipublikasikan oeh Ibnu Qayyim al-Jauziyy (w. 597 h) dalam koleksi kitab al-maudku’at.[53]  Lebih jauh, ulasan para pensyarah terhadap setiap unit hadits pasti menyertakan kritik bahasa matan,kritik kebenaran konsep yang menjadi substansi matan dan kritik pemaknaan atas struktur maupun kosa kata  ungkapan matan hadits.
Orientasi yang dilakukan para fuqoha terhadap hadist bukan tertujupada uji kebenaran dokumen hadist melainkan terkait dengan seleksi keunggulan nilai kehujahaan.tepat bila dikatakan bahwa perhatian terbesar fuqoha tertuju pada matan hadist.pendekatanpada sektor sanad ditekankan pada pengamatan jumlah periwayat sejak generasi sahabat,tabi’in dan tabi’u al-tabi’in guna memastikan kadar tawatur / masyhur / ahad.
Walayah perhatian fuqoha terpusat pada upaya penundukan hadist (sunah)pad ajaran dalil – dalil hukum syara’dan terfokuskan kesasaran aplikasi doktinalnya. Karena itu, langkah metodologis kritik mereka yang berbasis pad mu’aradhah (pencocokan) dan muqoronah (perbandingan) antar konsep atau makna yang dikandung setiap unit hadist. Media banding uji kecocokan bisa memperhadapkan al-qu’an dan dalil – dalil perumusan hukum syara amaliah yang lain.target yang ingin dicapai mirip konfirmasi guna mengesahkan kebenaran doktrin hadist dan uji koherensi (ketertautan dan keterhubungan) antar doktrin hadist dan dengan doktrin dalil  - dalil syara’ yang lain. Dengan demikian, matan hadist sebagai objek kritik dikalangan fuqoha lebih dekat dengan aspek subtansi doktrinalnya.[54]
DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawir,Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir.
Semi,Atari, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987).
Wehr, Hans, A Dictionsry of Modern Written Arabic (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970).
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).
Mandzur,Ani al-Fadil Jamaluddin M. Ibn Makram Ibn, Tahdzibu Lisan al-Arabi.
Al-Azami,M. Musthofa, Manhaj al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin(Riyadl: al-Ummariyah, 1982).
Abbas,Hasjim, Kritik Matan Hadits.
Sumbulah,Umi,Kritik Hadits.
Hanbal,Ahmad Ibn, Musnad (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1969).
Khatib,Ajjaj. al-Sunnah Qabl al-tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1993)
Al-Jauzi, Ibnu, Kitab al-Maudhuat (Beirut: Dar al-=Fikr, 1983).
Al-Zuhaili,Wahbah, al-Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1991).
A-asqalani,Ibnu Hajari, Fath al-Bari(mesir: Mathb’ah al-Bahiyah, 1348 H).
Malla khatir al-Azami, Hujjah al-Hadits al-Mursal ‘inda al-Imam al-Syafi’i  (Jeddah: Dar al-Qiblah, 1999).
Al-Iraq,iZainuddin, al-Taqyid wa al-Idhah (Beirut: Muassah al-kuub al-Saqafiah, 1996).
Persada, 2000).
Musthofa, al-Sunnah wa Makanatuha, (Damaskus: Dar Qawmiyah, 1996).



[1] Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir.466
[2] Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 7
[3] Hans Wehr, A Dictionsry of Modern Written Arabic (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970), hlm. 990
[4] Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 466.
[5] Ani al-Fadil Jamaluddin M. Ibn Makram Ibn Mandzur, Tahdzibu Lisan al-Arabi.641
[6] M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin(Riyadl: al-Ummariyah, 1982), hlm. 5
[7] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits. 10.
[8] Umi sumbulah,Kritik Hadits.94
[9] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1969), juz 6, hlm. 109
[10] Al-idlibi, Manhaj naqd al-Matn, hlm. 111
[11] Ajjaj Khatib, al-Sunnah Qabl al-tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 192; Ibnu al-Jauzy, Kitab al-Maudhuat (Beirut: Dar al-=Fikr, 1983), I: 55-56.
[12] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1991), XXVI: 226
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari(mesir: Mathb’ah al-Bahiyah, 1348 H), V: 87-88
[14] Malla khatir al-Azami, Hujjah al-Hadits al-Mursal ‘inda al-Imam al-Syafi’i  (Jeddah: Dar al-Qiblah, 1999), hlm. 105 dan 175-176.
[15] Zainuddin al’Iraqi, al-Taqyid wa al-Idhah (Beirut: Muassah al-kuub al-Saqafiah, 1996), hlm 286-287.
[16] M. Fuad Abd al-Baqi, al-lu’lu’ wa al-Marjan (Beirut: Dar al-Fikr, tt), III: 182
[17] Al-jawabi, Juhud al-Muhadditsin, 108
[18] M.M. alA’zami, Manhaj al-Naqd, hlm. 10-11 dan al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin, 103.
[19] Khudlary byk, Tarikh al-Tasyri’ al-islami. (Mesir: Dar Ihya al-kutub, 1964), hlm. 113.
[20] MM. al-A’zhami, Manhaj al-naqd, hlm. 59
[21] Syhrin harahap, Metodologi Studi dan Penelitian ilmu-Ilmu ushuluddin, (Jakarta: Raja Cratindo Persada, 2000), hlm. 69.
[22] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 2284 dan 2290
[23] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 2291
[24] Al-ibidbi, Manhaj naqd al-Matn,hl. 135
[25] Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Da Ihya turats al-Arabi, H), II: 779.
[26] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 2388-2389.
[27] Abu Dawud, Sunan Abi awud, no. indeks 3161
[28] Al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matn, hlm. 116.
[29] Al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin, hlm. 110.
[30] Muslim Ibnu al-Hajjaj, Muqaddimah Shahih Muslim, Jilid I, hlm. 15.
[31] Musthofa al-Shiba’I, al-Sunnah wa Makanatuha, (Damaskus: Dar Qawmiyah, 1996), hlm. 89-90.
[32] Al-Jawbi, Juhud al-Muhadditsin, hlm. 12.
[33] Al-Jawabi, Ibid.,hlm. 113
[34] Ibid., hlm. 144
[35] M.M. al-A’zhami Manhaj al-Naqd, hlm. 183-184.
[36] M. Syuhudi Ismail, Metodologi penelii Hadis Nabi, hlm. 122
[37] Al-Jawabi, Ibid,.,hlm. 498; M. Syuhudi Ismail, Metodologi penelitian hadis, hlm. 122-123
[38] Al-Jawabi, Ibid.,;M. Syuhudi ismail, Ibid.
[39] Hasjim Abbas,Kritik Matan Hadits.30
[40] Umi Sumbulah,Kritik Hadits.102
[42] Jalaludin al-Syuyuti Tadrib al-Rawi, 1: 246-248.
[43] A.M. Syakir al-Ba’syi al-Hasis, 58.
[44] Mustafa Sa’id al- Khin, Atsaru al-Ihtilaf  fi Qowaid al- Ushuliyyah, 254.
[45] Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah. 65-146
[46]l-Adlabi,op.cit,254.
[47] Syuhudi Isma’il,Metodologi Penelitian Hadits Nabi,123.
[48] Ibn Khaldun,Mukaddimah,(Kairo:Maktabah Al-Tijariyyah,tt)37.
[49] Nuruddin ’Itr,Manhaj Al-Naqd.467-468.
[50] Muhammad Al- Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah.15-16
[51] Al-Idlibi,Naqd al-Matn.10
[52] Muhammad al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah. 231.
[53] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi.274.
[54] Abbas,Hasjim, Kritik Matan Hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar